KPK Berwenang Angkat Penyidik dari Manapun
Berita

KPK Berwenang Angkat Penyidik dari Manapun

Penyelidik dan penyidik kepolisian atau penuntut umum kejaksaan dianggap mengurangi independensi KPK.

ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung KPK. Foto: RES
Gedung KPK. Foto: RES
Sesuai tafsir otentik ketentuan Pasal 39 ayat (3) dihubungkan dengan Pasal 43, Pasal 45, dan Pasal 51 UU UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, KPK berwenang mengangkat penyelidik/penyidik dari sumber manapun sepanjang memenuhi syarat dalam UU KPK. Sebab, tidak ada satu pasal pun dalam UU KPK yang menyebutkan penyidik KPK harus berasal dari kepolisian.

Pandangan itu disampaikan mantan Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham AA Oka Mahendra saat memberi keterangan sebagai ahli dari pemerintah di sidang lanjutan pengujian UU KPK yang dimohonkan terdakwa OC Kaligis.

Melalui kuasa hukum, terdakwa penyuapan hakim PTUN Medan, OC Kaligis menggugat sejumlah Pasal 45 (1) dan Pasal 46 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002tentang KPK. Advokat senior itu merasa diperlakukan tidak adil atas tindakan projustitia KPK. Pasal 45 ayat (1) UU KPK terkait status penyidik yang diangkat dan diberhentikan KPK dan Pasal 46 ayat (2) UU KPK terkait jaminan hak-hak tersangka dengan tidak mengurangi hak-haknya.

Pasal-pasal itu dinilai multitafsir dalam penerapannya. Pasal 45 ayat (1) UU KPK sepanjang frasa ‘penyidik adalah penyidik pada KPK’ agar dimaknai pengertian penyidik yang diatur dalam Pasal 6 KUHAP (penyidik Polri dan PPNS, --red). Pasal 46 ayat (2) UU KPK, khususnya frasa “pemeriksaan tersangka” dimaknai ‘dilakukan dengan tidak mengurangi hak tersangka yang dijamin dalam KUHAP khususnya hak untuk mengajukan hak penangguhan penahanan’.

Oka memandang apabila Pasal 39 ayat (3) UU KPK ditafsirkan bahwa penyelidik, penyidik, dan penuntut umum harus dari kepolisian atau kejaksaan yang diberhentikan sementara akan kehilangan dasar logika penafsiran sistematis. Lain halnya dengan Pasal 51 ayat (3) yang secara tegas menyebut penuntut umum pada KPK adalah “jaksa penuntut umum” yang tentunya merujuk pada Pasal 1 angka 1 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.

“Kalau begitu, rumusan pasal penyidik identik dengan rumusan Pasal 51 ayat (3) UU KPK, sehingga seharusnya Pasal 45 terdapat ayat (3) yang menyebut ‘penyidik sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah penyidik kepolisian’. Namun, kenyataannya tidak demikian karena Pasal 45 hanya terdapat dua ayat,” lanjutnya.

Menurut mantan Sekjen MK pertama ini, dilihat dari sejarah pembentukan KPK sebagai badan khusus yang independen, logis apabila KPK diberi wewenang mengangkat penyelidik, penyidik sendiri. Hal ini dimaksudkan agar KPK dapat memerangi korupsi secara optimal, efektif, dan professional terutama ketika tindak pidana korupsi melibatkan aparat penegak hukum (polisi) atau penyelenggara negara.

“Tentunya, independensi dan kebebasan KPK akan terpasung apabila tidak diberi kewenangan mengangkat penyelidik/penyidik sendiri,” tegasnya.

Ahli lainnya, dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, berpandangan sama. Menurutnya, secara historis sebetulnya tidak ditemukan apa sebenarnya kehendak yang diinginkan oleh pembentuk undang-undang KPK terkait persoalan asal penyelidik/penyidik KPK ini. Namun yang pasti, sejak dibentuk, KPK sangat terbuka bagi penyelidik/penyidik dari manapun.

“Komisioner KPK sangat terbuka bagi siapapun tidak harus penyelidik/penyidik kepolisian atau (penuntut umum) kejaksaan,” kata Zainal saat memberi keterangan dari UGM Yogyakarta melalui video conference.

Meski begitu, sepengetahuan Zainal,  pernah ada usulan agar penyidik KPK sebaiknya diisi oleh jaksa dan polisi pilihan. Akan tetapi, saat bersamaan ada usulan KPK berisi orang-orang yang independen. “Satu hal yang pasti tanpa perdebatan adalah kesepakatan menyematkan status extraordinary pada KPK,” katanya.

Terlebih, faktanya adanya penyelidik/penyidik kepolisian atau penuntut umum kejaksaan justru mengurangi independensi KPK. Sebab, ketergantungan kepada lembaga penegak hukum lain yang selama ini terjadi akan melahirkan kesetiaan ganda dengan lembaga asalnya. “Akibatnya, justru gagal dalam memberantas korupsi”.
Tags:

Berita Terkait