KPK Kaji Kerentanan Korupsi Sektor Kehutanan
Aktual

KPK Kaji Kerentanan Korupsi Sektor Kehutanan

ANT
Bacaan 2 Menit
KPK Kaji Kerentanan Korupsi Sektor Kehutanan
Hukumonline
KPK meminimalkan kerugian di sektor kehutanan melalui "Kajian Kerentanan Korupsi dalam Perizinan Usaha Sektor Kehutanan" yang berisi corruption impact assesment (CIA) mengenai pemetaan kerawanan korupsi.

"Dengan pemetaan yang baik kita bisa meminimalkan potensi kerugian, misalnya tambang di kawasan hutan, kalau bisa kita kendalikan lebih dari Rp15,9 triliun bisa diselamatkan," kata Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto di gedung KPK Jakarta, Kamis.

Kajian tersebut dipaparkan KPK kepada Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan serta sejumlah kementerian lain seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Badan Pemeriksa Keuangan, Kementerian Dalam Negeri dan kementerian lainnya.

"Belum lagi soal Penerimaan Negara Bukan Pajak, itu bisa hampir Rp12 triliun dapat kita selamatkan karena ada kekurangan PNBP dalam dua tahun saja sudah Rp12 triliun, ditambah renegosiasi penerimaan negara dari satu kontrak nikel di kawasan tambang hampir 167 juta dolar AS, kontrak karya emas 65,8 juta dolar AS yang bisa diselamatkan," tambah Bambang.

Menurut Bambang, bila dapat mengendalikan sektor kehutanan maka bukan saja mengurangi potensi kerugian tapi juga dapat mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat di sekitar hutan.

"Nanti yang akan disentuh tidak saja teman di kementerian, yang lintas kementerian tapi juga akan menyentuh korporasi misalnya kayu-kayu yang baik dan berkualitas premium bisa diekspor, jadi peningkatan-peningkatan ekonomi lebih maju lagi, tapi ini butuh waktu dan proses, perlu dikawal dan kalau bermain-main bukan tidak mungkin peningkatan KPK akan jalan," ungkap Bambang.

Menurut pakar kehutanan Prof. Hariadi Kartodiharjo yang menjadi bagian tim kajian, kajian tersebut mengelompokkan corruption impact assesment (CIA) menjadi empat bagian.

"Pertama adalah pencadangan kawasan hutan termasuk pemberian rekomendasi oleh bupati dan gubernur, kami lihat kebijakannya seperti apa, sebagian besar pengusaha yang kami tanya mengatakan ini tidak gratis, perlu biaya besar untuk memperoleh surat-surat seperti itu," kata Haryadi.

Kajian juga melihat pada kebijakan monopoli dan perdagangan karena upaya menumbuhkan hutan tidak bisa dilepaskan dari harga produk yang dihasilkan.

"Semakin rendah harga kayu bulat yang ada karena ada monopoli maka masyarakat tidak mau, terutama ini di luar jawa, banyak hutan tanaman dan hutan tanaman industri yang mati karena persoalan ini," tambah Haryadi.

Selanjutnya tim melihat proses-proses pelaksanaan perizinan karena banyak sekali orang yang mendapatkan izin banyak juga dapat banyak pengesahan, banyak di kabupaten atau provinsi.

"Keempat, kita semua tahu sumber pendapatan dari alam itu antara lain itu PNBP. Jadi berbagai macam iuran resmi itu perlu ditinjau. Tidak hanya persoalan tarif tapi bagaimana perusahaan itu melakukan efisiensi usahanya sehingga bisa menghasilkan sesuatu yang produktif," tambah Haryadi.

Kajian juga menyoroti pengukuran kinerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terhadap BUMN Kehutanan seperti Perhutani.

"Selama ini kita melihat untuk kasus perhutani, justru ukuran kinerja keuangan baik, dan tidak pernah rugi. Tapi ukuran ini bisa 'misleading' karena di tengah kebaikan itu justru terjadi kurang tegakan untuk kayu jati dan pinus. Ini menunjukkan inefisiensi perusahaan yang harus ditelaah apalagi ada berbagai macam perundangan baik UU Kehutanan, UU Perlindungan Hutan yang perlu disinkronkan," tambah Haryadi Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mengatakan bahwa kementeriannya telah bekerja sama dengan KPK sejak 2010.

"Kami mulai 2010 sudah bekerja sama dengan KPK di pencegahan, pada 2010 sudah ada kajian. dan berdasarkan kajian 2011, 2012, 2013 kami melakukan perbaikan secara komprehensif," kata Zulkifli.

Zulkifli mengaku dalam dua pekan ke depan ia akan merevisi 6-7 aturan Menteri Kehutanan sesuai dengan rekomendasi kajian KPK.

"Kami menggunakan wibawa KPK yang tinggi untuk menanggulangi hal ini," tambah Zulkifli.
Tags: