'Kuliah' Konstitusi untuk Advokat Pengawal Konstitusi
Berita

'Kuliah' Konstitusi untuk Advokat Pengawal Konstitusi

Pemohon menggunakan penjelasan Pasal 22 UUD 1945 sebagai dasar berargumen, padahal pasca amandemen UUD 1945 tidak dikenal lagi adanya penjelasan pasal. Hakim Konstitusi pun terpaksa menjelaskan 'kuliah' dasar ke para advokat konstitusi itu.

Ali
Bacaan 2 Menit

 

Akil kembali menanggapi. Ia mengatakan persoalan ini bukan masalah melenceng atau tidak melenceng. “Pasal 22 itu tidak termasuk yang diamandemen. Bunyi pasalnya tidak berubah,” ujarnya. Ia juga menjelaskan ketentuan Penjelasan pasal-pasal dalam UUD 1945 sebelum amandemen tidak terlalu 'original'. “Penjelasan itu bukan dari hasil rapat BPUPKI. Tapi dikerjakan sendirian oleh Prof M Yamin dalam sehari semalam atas instruksi Soekarno,” jelasnya. 

 

Hakim Konstitusi Harjono menilai pemohon kurang teliti. “Anda terlalu bersemangat, tapi tidak teliti,” ujarnya. Dalil dalam permohonan pun banyak yang salah. Ia bahkan mempertanyakan banyaknya advokat yang tergabung dalam PAIP-Konstitusi tetapi permohonan masih banyak kesalahan. “Jangan-jangan yang membuat (permohonan,-red) cuma satu orang. Tolonglah hargai diri anda sendiri,” ujarnya.

 

Lebih lanjut, Harjono, juga mengkritik balik kritikan pemohon yang menyatakan amandemen UUD 1945 telah melenceng dari aslinya. “MK itu hasil amandemen. Apakah MK juga melenceng? Lalu buat apa Anda ke sini,” sindirnya. Ia meminta pemohon tidak mengeluarkan komentar-komentar yang tidak jelas.

 

Tafsir Kegentingan

Terlepas dari banyaknya kesalahan, permohonan yang diajukan oleh advokat dalam PAIP-Konstitusi ini sebenarnya ingin memperjelas penafsiran 'hal ihwal kegentingan yang memaksa' dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Mereka berpendapat Perppu memang masih dibutuhkan, namun harus dibatasi penggunaanya.

 

Karenanya, dalam salah satu petitum permohonannya, pemohon meminta agar MK memerintahkan pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) untuk membuat UU mengenai tafsir 'hal ihwal kegentingan yang memaksa' itu. “Biar agar ada kepastian hukum. Definisinya harus jelas,” ujar Daniel.

 

Akil menilai MK tak mempunyai kewenangan untuk memerintahkan pembentuk undang-undang. “Nanti bisa marah mereka,” candanya. Namun, Daniel tak mau kalah. Ia mengatakan sudah banyak preseden putusan MK yang memerintahkan pembentuk undang-undang. Salah satunya yang terkenal adalah ‘perintah’ MK agar DPR dan Presiden membentuk UU Pengadilan Tipikor dalam waktu tiga tahun. Bila tidak, Pengadilan Tipikor akan dinyatakan inkonstitusional. 

 

 

Tags:

Berita Terkait