Kurangnya Buku Hukum Humaniter Bukan Hambatan
Peradilan Semu <i>Asia Cup</i>

Kurangnya Buku Hukum Humaniter Bukan Hambatan

Kendala yang dihadapi tim Indonesia saat berlatih adalah kurangnya buku-buku dan jurnal penunjang mengenai hukum humaniter atau hukum perang.

M-1
Bacaan 2 Menit

 

Menurut Hikmahanto, selain dalam Asia Cup, Indonesia juga berpartisipasi dalam kompetisi peradilan semu lainnya yaitu Phillip C. Jessup Competition, yang diadakan di Washington, Amerika Serikat, Willem C Vis International Commercial Arbitration Moot Competition yang diadakan di Wina, Austria serta Maritime Competition yang diadakan di Australia.

 

Dalam Jessup Competition 2006, Indonesia berhasil menduduki peringkat ke-19 dari 99 peserta yang berasal dari berbagai fakultas hukum di seluruh dunia, sementara dalam Maritime Competition 2005 yang diselenggarakan di Australia, Indonesia berhasil menyabet juara tiga.

 

Menurut Hikmahanto, keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kompetisi peradilan semu akan meningkatkan kualitas pendidikan hukum karena mendorong mahasiswa untuk melakukan riset mendalam atas argumentasi yang disampaikan dan ditantang untuk piawai dalam menyampaikan argumentasi tersebut baik secara lisan maupun oral di hadapan hakim.

 

Disamping itu, keikutsertaan tersebut menurut Hikmahanto akan memberi rasa percaya diri bagi para mahasiswa Indonesia bahwa mereka punya kemampuan yang tidak kalah dengan mahasiswa lain dari berbagai negara. Keuntungan lain dari kegiatan tersebut, lanjut Hikmahanto, dalam jangka panjang jika suatu saat pemerintah Indonesia menjadi pihak dalam Mahkamah Internasional maka pemerintah tidak perlu lagi menyewa para pengacara luar negeri yang mahal yang belum tentu menghayati posisi Indonesia, seperti pada penyelesaian Pulau Sipadan dan Ligitan dengan Malaysia.

 

Menurut salah seorang peserta Asia Cup 2005, Windri Marieta, kejuaraan tersebut sangat bermanfaat baginya. Kita bisa tahu bagaimana sebenarnya proses bersidang di Mahkamah Internasional. Kita diajari bagaimana berargumentasi di depan para hakim Mahkamah Internasional, serta bagaimana cara menjawab pertanyaan dari mereka. Seolah-olah kita berpura-pura kita jadi lawyernya sebuah negara, ujar Windri bangga.

 

Menurut Novri, untuk ikut kompetisi tersebut kita tidak boleh rendah diri. Novri menyayangkan banyak mahasiswa yang takut ikut kompetisi tersebut karena permasalahan bahasa Inggris. Sebenarnya ini bukan hanya mengenai bahasa Inggris, tapi juga logika. Bahasa Inggris bisa kita pelajari dan itu mudah. Selama ada kemauan kita pasti bisa, cetus mahasiswa yang bercita-cita menjadi diplomat tersebut.

 

Bagi Novri, kompetisi ini adalah kesekian kalinya yang pernah ia ikuti. Untuk bisa berkompetisi tersebut, tentu para peserta harus benar-benar mencintai dan tahu dunia hukum. Untuk itu, Novri mengharapkan dunia hukum lebih dicintai oleh anak muda Indonesia.

Halaman Selanjutnya:
Tags: