LSM Kembali Desak Hakim Adhoc Harus Lebih Banyak
RUU Pengadilan Tipikor

LSM Kembali Desak Hakim Adhoc Harus Lebih Banyak

Dalam RUU Pengadilan Tipikor yang sedang dibahas oleh DPR dan Pemerintah, komposisi hakim karir dan hakim adhoc diserahkan kepada Ketua Pengadilan. Ada kekhawatiran dalam persidangan komposisi hakim karir akan lebih banyak dibanding hakim adhoc.

Ali
Bacaan 2 Menit
LSM Kembali Desak Hakim Adhoc Harus Lebih Banyak
Hukumonline

 

Menurut Febri, sulit dipungkiri bahwa masyarakat belum percaya dengan pengadilan umum termasuk pula hakim karir yang mengadilinya. Berdasarkan catatan ICW, tren vonis bebas untuk kasus korupsi terus meningkat dari tahun 2005 hingga 2008. Kalaupun ada hukuman yang dijatuhkan, itu pun masih tergolong rendah. Dari 1421 terdakwa kasus korupsi, sekitar 659 divonis bebas di pengadilan umum.

 

Sekadar mengingatkan, Menteri Hukum dan HAM Andi Matalatta memang sempat mengungkapkan jumlah hakim adhoc tak perlu dicantumkan secara eksplisit dalam undang-undang. Komposisi hakim adhoc sebaiknya ditentukan oleh Ketua Pengadilan dan tidak ditentukan secara fix number dalam undang-undang ini, ujarnya beberapa waktu lalu.  

 

Salah satu alasan yang dikemukakan adalah sulitnya merekrut sumber daya manusia. Selain anggarannya yang belum tersedia, Juga tidak mudah mencari hakim adhoc yang memiliki kapasitas terbaik, ujarnya.

 

Apalagi, dalam RUU Pengadilan Tipikor yang sedang dibahas, pengadilan tipikor akan dibentuk di setiap provinsi. Bila di setiap pengadilan tipikor terdapat dua majelis hakim, maka dibutuhkan enam hakim adhoc (dengan asumsi komposisi 3:2). Bila dikaitkan dengan jumlah provinsi maka dibutuhkan 198 hakim adhoc hanya untuk ditingkat pengadilan negeri. Belum lagi, hakim adhoc yang bertugas di Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung (MA).

 

Febri menyadari kondisi ini. Karenanya, sejak awal sejumlah LSM mengusulkan agar pengadilan tipikor tak dibentuk di semua provinsi, tetapi di beberapa wilayah saja. Kalau di setiap provinsi, bukan susah mencari hakim adhocnya, tetapi susah mengawasinya, ujarnya.

 

Berdasarkan informasi yang diperoleh hukumonline, draft RUU Pengadilan Tipikor yang sempat dibuat sejumlah LSM memang mengusulkan agar pengadilan tipikor hanya dibentuk di beberapa region. Yakni, Jakarta, Surabaya, Makassar, Medan, Balikpapan atau Samarinda. Namun, usulan ini ditolak oleh pemerintah karena pemerintah menghendaki pengadilan tipikor dibentuk di setiap provinsi.

 

Selain persoalan region, Febri juga mengusulkan agar untuk kasus-kasus tertentu majelis hakim bisa berjumlah tiga hakim saja. Komposisinya, dua hakim adhoc dan satu hakim karir. Ini bisa menjadi kewenangan Ketua Pengadilan untuk menentukan suatu kasus diadili oleh tiga hakim atau lima hakim. Asal komposisi hakim adhoc lebih banyak, pungkasnya.

Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (RUU Tipikor) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah masih berlangsung alot. Salah satu yang diperdebatkan masih seputar komposisi hakim di pengadilan tipikor kelak. Mayoritas fraksi di DPR setuju komposisi 3:2, yakni tiga hakim adhoc dan dua hakim karir harus tetap dipertahankan. Sedangkan pemerintah berpendapat agar Ketua Pengadilan saja yang menentukan komposisi majelis hakim nanti.  

 

Meski perdebatan berlangsung di gedung dewan, sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tak mau ketinggalan berurun rembug. Pemerintah telah membajak materi RUU Pengadilan Tipikor, ujar Peneliti Hukum ICW Febri Diansyah dalam konferensi pers, di Jakarta, Senin (2/7).

 

Febri mengatakan bila komposisi diserahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri maka sangat mungkin komposisi lebih condong ke hakim karir. Nanti bisa lebih banyak hakim karir, ujarnya. Ia pun mendesak agar komposisi hakim adhoc harus lebih banyak dari hakim karir.

Tags: