Luhut M.P. Pangaribuan: Pengadilan Kita Perlu Mengenal Lay Participation
Terbaru

Luhut M.P. Pangaribuan: Pengadilan Kita Perlu Mengenal Lay Participation

Mengelola sebuah lawfirm seharusnya bukan jadi hambatan bagi seorang advokat untuk terus meniti tangga di dunia akademik. Malah, ilmu dan karir profesional perlu seiring sejalan. Sebab, itulah yang akan menjadi jembatan bagi seorang advokat untuk memahami dunia teoritis dengan dunia akademis.

Nov/Lay
Bacaan 2 Menit

 

Kiprahnya sebagai advokat dan aktivis hukum mendapat pengakuan bukan hanya di dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Pada  1992, ayah tiga anak ini memperoleh Human Rights Award dari Lawyer Committee for Human Rights di New York Amerika Serikat.

 

Untuk mengetahui bagaimana pemikiran Luhut tentang konsep lay judges dan eksistensi hakim ad hoc dalam peradilan pidana, hukumonline mewawancarai anggota Dewan Kehormatan Pusat DPN Peradi itu pada 6 Maret lalu. Wawancara berlangsung di kantornya di bilangan Jalan Rasuna Said Kuningan. Berikut petikannya:

 

Bagaimana pendapat Anda mengenai sistem peradilan pidana kita sekarang?

Sebenarnya sistem peradilan pidana kita hampir tidak berubah dengan sistem itu (menunjuk ke foto cover buku "Lay Judges&Hakim Ad Hoc" yang menggambarkan suasana persidangan di Cilegon, Banten pada 1888), bahkan lebih mundur. Coba saya jelaskan. Foto ini di Banten. Yang berubah di sini sekarang ada kursi (menunjuk ke terdakwa dalam foto). Dulu kan feodalistik. Terdakwanya duduk, tapi sekarang sudah pakai kursi. Tapi malah orang-orang yang duduk sejajar pakai topi hilang. Mereka yang saya sebut lay judges. Ini Lid-landraad, dimana mereka jadi anggota. Mereka, para lay judges, ditempatkan untuk memberikan pandangan mengenai perkara ini. Tidak persis seperti juri. Guilty or not guilty, bukan begitu, kan? Mustinya ditingkatkan lagi dong supaya bisa mengatakan begitu. Tapi malah hilang. Yang ada adalah indoktrinasi-indoktrinasi, kode etik integritas, independensi of the judicial lay. Tapi kelembagaan yang di sini tidak dikembangkan. Ini yang saya sebut judicial tyranny, atau judicial dictatorship, itu istilahnya Satjipto Raharjo. Atau judicial tyranny istilahnya Prof. Jimly Asshidiqie dalam buku ini. Jadi ini mengarah pada judicial dictatorship atau judicial tyranny dari segi kelembagaan. Itulah makanya saya pilih gambar ini, gambar yang ada di Pasca Hukum UI Salemba. Gambar ini bersumber dari Van Vollenhoven Institute Netherlands. Ini ada kutipannya, "Pada tahun tersebut telah pernah pemberontakan petani di Banten karena pembersihan berlebihan oleh perekonomian." Jadi ini (menunjuk ke terdakwa) dianggap pemberontak.

 

Kalau juri kan harus common people, kalau lay judges?

Induknya sebenarnya dalam literatur disebut lay participation.  Lay participation itu melahirkan lay judges. Lay judges itu juga dapat dilihat dalam arti luas bisa juga dalam arti sempit. Dalam arti sempit, dia dibedakan dengan arti juri. Satu juri, kedua lay judges. Tapi lay judges itu bisa juga untuk kedua-duanya. Baik juri maupun lay judges. Konsep utamanya adalah lay participation awam dalam kelembagaan pengadilan pidana. Saya lebih fokus pada pengadilan pidana. Pertanyaannya, apa sungguh-sungguh awam? Juri itu kan berkembang dan lebih banyak digunakan di Common Law System atau Anglo Saxon System. Inggris, Amerika, Kanada, Australia. Tapi di Eropa, sampai hari ini masih ada juri. Di Prancis,  Italia, Spanyol ada. Tapi lebih dipilih lay judges. Salah satu perbedaan utama,  lay judges menyatu dengan majelis. Kemudian disebut dengan mixed court atau colaborative court atau collegial court. Bench, mejanya itu sama. Sementara kalau juri itu kan pisah. Dan pisahnya bukan hanya benchnya, tapi juga kewenangannya. Apa kewenangan hakim, dan apa kewenangan juri. Lay judges ada juga yang membagi kewenangannya. Misalnya di Jepang. Di Jepang pakai lay judges sekarang. Pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan fakta, yang disebut dengan instruction di Jepang, kemudian jawaban mereka mengikat. Nanti argumentasi hukumnya dilengkapi oleh hakim yang karir. Lay judges itu melembaga dalam bench yang sama dengan hakim karir, sehingga disebut mixed court atau collegial court. Sementara kalau juri terpisah, kewenangan juga terpisah. Tapi sebagai tambahan, jangan kira juri itu semata lembaganya Common Law. Tidak. Sebenarnya itu mulai dari zaman Romawi. Lebih berkembang sistem juri di Anglo Saxon daripada di Eropa sana. Sampai hari ini Prancis mengenal juri. Di Jerman misalnya, ada juri dan ada lay judges. Tapi tidak pada saat yang sama. Ada satu periode, yang mereka gunakan. Yang sekarang adanya lay judges yang disebut dengan hakim ad hoc.

 

Apakah lay judges hanya untuk memberikan pertimbangan moral?

Konseptualisasi mengapa lay judges itu digunakan, ada terminologi di situ. Lay judges itu memberikan aspek moral sementara hakim itu memberikan legalitasnya.  Aspek moralitas itu sebenarnya, yang dimaksudkan seperti yang kita sebut dalam perundang-undangan kita adalah hukum yang hidup dan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Jadilah kerjasama yang baik antara mereka.

 

Berapa komposisi lay judges dengan hakim yang memberikan pertimbangan legalnya?

Jumlahnya itu bervariasi ya, ada juga dipraktekan di beberapa tempat. Umumnya lay judges itu selalu mayoritas. Dalam banyak sistem, selalu mayoritas. Misalnya di Jerman karena mereka selalu dianggap perwujudan kedaulatan rakyat. Sebagai perwujudan kedaulatan rakyat maka dia yang harus paling menentukan mengenai keadilan. 

 

Bagaimana pandangan Anda mengenai konsep hakim ad hoc di Indonesia?

Di Indonesia, hakim ad hoc adalah duplikasi hakim karir. Di luar, hakim ad hoc adalah lay judges. Lay judges dihindari dari profesi dan latar belakang hukum agar melihat dari keadilan, bukan dari teknis-teknis hukum. Hakim ad hoc dimulai dari TUN, karena diperlukan keahlian. Tapi itu diperdebatkan dan tidak pernah terjadi. Hakim karir selalu menunjukkan ketidaksukaannya terhadap lay judges. Harus ada sosialisasi agar lebih objektif.

Halaman Selanjutnya:
Tags: