Mediator: Bila Senyum Belum Memihak Para Penengah
Edisi Lebaran 2010:

Mediator: Bila Senyum Belum Memihak Para Penengah

Meski tak selalu dilirik, khasiat mediasi nyata dalam menyelesaikan sengketa. Mediator memegang peran penting. Ada di dalam dan di luar pengadilan.

Inu/Dny
Bacaan 2 Menit

 

Hanya ada tali asih berupa Rp10 juta dari keluarga penghuni pada saudara-saudaranya tapi dikembalikan lagi. Bahkan acara selanjutnya adalah membahas rencana haul peringatan wafatnya si juragan.

 

Penyelesaian konflik menahun bisa selesai dalam sehari, menurut Fahmi memang kerap terjadi dalam proses mediasi. Dia sebutkan peristiwa 15 Agustus 2005 yaitu kesepakatan damai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka di ibukota Finlandia, Helsinki. Beberapa hari menjelang peringatan Proklamasi RI ke 57, sengketa antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka sejak 1976 selesai sudah. Perundingan Helsinki adalah puncak dari sejumlah perundingan bertahun-tahun yang dilakukan antara pemerintah Indonesia dengan GAM. Bertindak sebagai penengah dalam perundingan tersebut eks Presiden Finlandia Marti Ahtisaari.

 

Cepat dan efektif memang ciri penyelesaian sengketa diluar pengadilan seperti mediasi. Fahmi yang juga Direktur Eksekutif Pusat Mediasi Nasional (PMN) menambahkan pihak yang bersengketa dijamin tak diketahui publik. “Dalam sengketa, ujar Fahmi, “mediasi menghindari kerugian besar lain yaitu potensi hilangnya hubungan baik.”

 

Keuntungan lain, beban biaya yang akan timbul ditentukan di muka. Tanpa ada tambahan biaya dikemudian hari. Bahkan, mediator tak boleh merapat ke salah satu pihak yang bersengketa. “Itu sudah melanggar etika dan sampai kini belum ditemukan pelanggaran terkait itu.” Sekalipun demikian, menurut dia masih banyak yang belum memahami manfaat mediasi. Termasuk diantaranya hakim dan pengacara. “Karena kurang informasi saja,” ujarnya. 

 

Bagi negara, mediasi menurut Fahmi akan menguntungkan. Karena pengadilan dapat menggunakan anggaran minim untuk menggelar perkara. Terutama perkara-perkara besar yang akan berdampak kembalinya kepercayaan publik pada lembaga penentu keadilan itu. “Perkara seperti pencurian empat butir semangka di PN Blitar, Jawa Timur atau empat kilo kapas seharga Rp6.000 di PN Batang, Jawa Tengah tak perlu disidangkan di pengadilan,” ujarnya.

 

Boleh jadi, perkara serupa masih berserakan di seantero pengadilan di Indonesia. Tak terbayang berapa anggaran negara yang dipungut dari rakyat digunakan untuk hal seperti itu. Perkara besar tentu akan terhambat penuntasannya.

 

Tilik beban perkara Mahkamah Agung. Pada April 2010, diumumkan MA mencapai 9.500.  Tunggakan perkara semakin "menggunung", terutama dua tahun terakhir ini dari tahun sebelumnya masih sekira delapan ribuan perkara. Penumpukan perkara tak terhindar, karena sejak 2008, perkara masuk antara 11 ribu – 13 ribu. Ditambah lagi oleh minimnya tenaga Hakim Agung.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait