Memprihatinkan, Proses Legislasi Indonesia Banyak Dibiayai Asing
Berita

Memprihatinkan, Proses Legislasi Indonesia Banyak Dibiayai Asing

Pada umumnya, keterlibatan asing dikaitkan dengan upaya memasukkan paham neoliberalisme ke dalam peraturan perundang-undangan.

Mys
Bacaan 2 Menit
Memprihatinkan, Proses Legislasi Indonesia Banyak Dibiayai Asing
Hukumonline

 

Salah satu indikasi perubahan pola pikir penyusun undang-undang akibat bantuan asing adalah privatisasi atau swastanisasi sektor publik yang semestinya menjadi tanggung jawab negara. Pemerintah mengukuhkan hubungannya dengan investor ke ranah perdata semata-mata. Akibatnya, tanggung jawab publik yang ada di pundak Pemerintah tergerus menjadi sekedar hubungan keperdataan. Hubungan keperdataan antara Pemerintah dengan investor menggeser urusan publik ke dalam ruang bisnis dan berorientasi pada keuntungan ekonomi, tandas Yance Arizona, aktivis Komunitas Anti Globalisasi Ekonomi.

 

Zainal Arifin dan Yance sebenarnya berharap banyak pada Mahkamah Konstitusi untuk mengawal konstitusionalitas undang-undang. Namun keduanya sepaham, putusan-putusan MK semakin melemah ketika berhadapan dengan pasal-pasal liberalisasi. Awalnya, muncul optimisme ketika MK membatalkan seluruh UU Ketenagalistrikan. Optimisme itu kian lama kian berkurang setelah berturut-turut semangat putusan MK pada UU Ketenagalistrikan kian melemah pada UU Migas, UU Sumber Daya Air, hingga ke UU Penanaman Modal.

 

Di tempat terpisah, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Erman Rajagukguk menegaskan bahwa persoalan modal asing yang masuk ke Indonesia sudah menimbulkan pro kontra sejak dahulu. Bahkan pro kontra itu terus berlangsung ketika DPR dan Pemerintah membahas RUU Penanaman Modal, yang kemudian disahkan menjadi UU No. 25 Tahun 2007. Perdebatan antara perlunya modal asing dan pentingnya perlindungan kepentingan lokal tampak jelas, papar pakar hukum ekonomi itu.

 

Perundang-undangan Indonesia nyaris tak punya jati diri lagi. Jamak terjadi, proses legislasi Undang-Undang pasca reformasi dikelola atau didanai oleh asing. Yang paling kentara adalah perundang-undangan mengenai sumber daya alam.

 

Keterlibatan asing dalam proses legislasi itu sedikit banyak akan menanamkan pengaruh. Paling tidak pola pikir para penyusun undang-undang. Padahal, UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tegas menyebutkan bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.

 

Zainal memang tak menyebut secara detail lembaga mana saja yang membantu proses legislasi dan tak menunjukkan bukti langsung keterlibatan asing tersebut. Meskipun sulit menemukan bukti otentiknya, besarnya pengaruh asing dalam proses legislasi itu cukup memprihatinkan. Ironisnya, pengaruh asing yang acap dicap sebagai neoliberalisme itu menghinggapi juga proses amandemen UD 1945. Konstitusionalisme Indonesia semakin disusun sedemikian rupa mendukung kaum modal, papar Zainal Arifin Mochtar di sela-sela Konferensi Warisan Otoritarianisme: Demokrasi Indonesia dan Tirani Modal di kampus Universitas Indonesia, Selasa (05/8) kemarin.

 

Direktur Advokasi Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada itu meyakini sebagian besar peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan sumber daya alam dibantu asing. Misalnya, UU Migas, UU Ketenagalistrikan, UU Sumber Daya Air, dan UU Penanaman Modal. Bahkan, RUU Tipikor yang kini tengah disusun, tak lepas dari bantuan asing. Yang lebih ironis, campur tangan asing itu sudah merasuk ke persoalan konstitusi. Timbul kesan bahwa upaya membangun konstitusi pro pemodal dilakukan secara sistematis mulai saat proses amandemen hingga ke proses penyusunan perundang-undangan yang lebih rendah.

 

Sinyalemen Zainal Arifin Mochtar tentang konstitusionalisme dan proses legislasi ramah pemodal bukan tanpa dasar. Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Prof. Sri-Edi Swasono tak menafikan adanya upaya terselubung memasukkan pandangan neoliberalisme ekonomi –sebagai jalan ke arah kapitalisme dan imperialisme baru—ke dalam UUD 1945 melalui proses amandemen, khususnya pasal 33. Pasal bebas yang diusung paham liberal, kata Sri-Edi, membuka jalan bagi daulat pasar menggusur daulat rakyat. Pasar bebas akan menggusur orang miskin, bukan mengusur kemiskinan, ujarnya dalam pidato di kampus UI, Selasa (05/8) kemarin.

Tags: