Mengawal Reformasi Hukum Menuju Indonesia Emas 2045
Kolom

Mengawal Reformasi Hukum Menuju Indonesia Emas 2045

Ada dua penyakit kronis dalam sistem penegakan hukum di Indonesia yang menghalangi terciptanya keadilan dalam masyarakat secara merata.

Frans Hendra Winarta (kiri) dan Jeniffer Queenstanti (kanan). Foto: Istimewa
Frans Hendra Winarta (kiri) dan Jeniffer Queenstanti (kanan). Foto: Istimewa

Salah satu agenda Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045 menuju Indonesia Emas 2045 adalah reformasi hukum dan supremasi hukum untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara Nusantara Berdaulat, Maju, dan Berkelanjutan. Ini tantangan besar bagi pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang baru terpilih. Sejak era reformasi, Indonesia telah mengadakan pemilu sejak tahun 1999. Pemilu menjadi tolok ukur mengevaluasi reformasi hukum dan supremasi hukum sudah terwujud atau belum. Pada hakikatnya untuk penegakan supremasi hukum dapat dilihat dari proses demokrasi. Apakah ia telah membawa harapan baru terhadap tatanan kehidupan berpolitik yang lebih damai?

Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka—yang dinyatakan telah terpilih dalam Pemilu 2024—sebelumnya menegaskan dalam kampanye soal program reformasi hukum yang mereka canangkan. Intinya tidak akan hanya sekadar perubahan melainkan transformasi menuju Indonesia Emas pada tahun 2045.

Baca juga:

Masyarakat perlu mengawal sejauh mana pasangan calon dapat mewujudkan harapan baru terhadap supremasi hukum dan reformasi hukum. Mengingat budaya kampanye di Indonesia, sering kali gagasan para calon Presiden dan calon Wakil Presiden hanya menjadi janji kosong belaka. Setelah pemilu janji tersebut dilupakan karena pengaruh kekuasaan yang begitu menggiurkan.

Gagasan para founding fathers adalah cita-cita suatu negara hukum (rechtsstaat) yang mewujudkan penegakan hukum berbasis keadilan merata bagi seluruh masyarakat (distributive justice). Namun, dalam perwujudannya, terdapat dua penyakit kronis dalam sistem penegakan hukum di Indonesia. Keduanya menghalangi terciptanya keadilan dalam masyarakat secara merata.

Penyakit kronis pertama itu tentu adalah budaya intervensi penegakan hukum yang sering kali terjadi di masyarakat. Intervensi ini identik dengan suatu strata sosial yang tinggi dalam tatanan masyarakat. Budaya intervensi ini adalah budaya yang menyebabkan institusi penegakan hukum kehilangan independensi dan imparsialitas. Akibatnya, iktikad baik penegak hukum terganggu dalam menegakkan hukum sesuai rasa keadilan masyarakat.

Penyakit kronis kedua yaitu kurangnya profesionalisme. Mafia peradilan (judicial corruption) dan lemahnya sistem hukum yang mengatur terkadang menjadi alat para penguasa. Mereka menggunakannya untuk kepentingan tertentu dalam menunjang kekuasaannya semata.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait