Mengawal Reformasi Hukum Menuju Indonesia Emas 2045
Kolom

Mengawal Reformasi Hukum Menuju Indonesia Emas 2045

Ada dua penyakit kronis dalam sistem penegakan hukum di Indonesia yang menghalangi terciptanya keadilan dalam masyarakat secara merata.

Bacaan 4 Menit
Frans Hendra Winarta (kiri) dan Jeniffer Queenstanti (kanan). Foto: Istimewa
Frans Hendra Winarta (kiri) dan Jeniffer Queenstanti (kanan). Foto: Istimewa

Salah satu agenda Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045 menuju Indonesia Emas 2045 adalah reformasi hukum dan supremasi hukum untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara Nusantara Berdaulat, Maju, dan Berkelanjutan. Ini tantangan besar bagi pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang baru terpilih. Sejak era reformasi, Indonesia telah mengadakan pemilu sejak tahun 1999. Pemilu menjadi tolok ukur mengevaluasi reformasi hukum dan supremasi hukum sudah terwujud atau belum. Pada hakikatnya untuk penegakan supremasi hukum dapat dilihat dari proses demokrasi. Apakah ia telah membawa harapan baru terhadap tatanan kehidupan berpolitik yang lebih damai?

Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka—yang dinyatakan telah terpilih dalam Pemilu 2024—sebelumnya menegaskan dalam kampanye soal program reformasi hukum yang mereka canangkan. Intinya tidak akan hanya sekadar perubahan melainkan transformasi menuju Indonesia Emas pada tahun 2045.

Baca juga:

Masyarakat perlu mengawal sejauh mana pasangan calon dapat mewujudkan harapan baru terhadap supremasi hukum dan reformasi hukum. Mengingat budaya kampanye di Indonesia, sering kali gagasan para calon Presiden dan calon Wakil Presiden hanya menjadi janji kosong belaka. Setelah pemilu janji tersebut dilupakan karena pengaruh kekuasaan yang begitu menggiurkan.

Gagasan para founding fathers adalah cita-cita suatu negara hukum (rechtsstaat) yang mewujudkan penegakan hukum berbasis keadilan merata bagi seluruh masyarakat (distributive justice). Namun, dalam perwujudannya, terdapat dua penyakit kronis dalam sistem penegakan hukum di Indonesia. Keduanya menghalangi terciptanya keadilan dalam masyarakat secara merata.

Penyakit kronis pertama itu tentu adalah budaya intervensi penegakan hukum yang sering kali terjadi di masyarakat. Intervensi ini identik dengan suatu strata sosial yang tinggi dalam tatanan masyarakat. Budaya intervensi ini adalah budaya yang menyebabkan institusi penegakan hukum kehilangan independensi dan imparsialitas. Akibatnya, iktikad baik penegak hukum terganggu dalam menegakkan hukum sesuai rasa keadilan masyarakat.

Penyakit kronis kedua yaitu kurangnya profesionalisme. Mafia peradilan (judicial corruption) dan lemahnya sistem hukum yang mengatur terkadang menjadi alat para penguasa. Mereka menggunakannya untuk kepentingan tertentu dalam menunjang kekuasaannya semata.

Padahal, merujuk Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum harusnya menjunjung tinggi penegakan hukum yang adil. Sejatinya sebuah negara disebut negara hukum jika menerapkan equal treatment atau equality before the law secara tegas. Setiap orang di dalam negara itu diberikan hak untuk mendapatkan keadilan secara merata (distributive justice). Jika tidak ada penegakan hukum, maka tidak akan pernah ada kepastian hukum.

Segala persoalan yang terjadi diselesaikan secara hukum karena setiap orang pada dasarnya memiliki hak yang sama di hadapan hukum. Ini sesuai dengan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka harusnya cermat dalam upaya reformasi hukum dan supremasi hukum. Program reformasi hukum diharapkan tidak sekadar membuat undang-undang (wet) saja. Lebih dari itu, harus membuat hukum (recht) yang bernafaskan kepribadian Indonesia (Pancasila), berintikan musyawarah untuk mufakat.

Sistem Hukum Responsif

Indonesia butuh sistem hukum peradilan responsif dalam upaya reformasi hukum dan supremasi hukum. Ini sebagaimana diungkapkan Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam bukunya Law and Society Transition: Toward Responsive Law. Sistem hukum yang modern adalah sistem hukum yang responsif yaitu perubahan hukum dilakukan melalui proses politik. Namun, hubungan antara politik dan hukum serta subsistem lainnya bersifat sinergi. Lebih lanjut, Nonet dan Selznick menyatakan bahwa antara hukum dan politik terdapat pemisah atau advokasi. Penilaian hukum dapat terjadi apabila terdapat isu-isu kebijaksanaan publik yang kontroversial.

Kutipan selengkapnya sebagai berikut, “Law is valued as a resource for criticism and an instrument for change, and there is a tacit faith that system of authority can better preserve itself, and be better, if it is open to reconstruction in the light of how those who are governed perceive their moral commitments”.

Masyarakat Indonesia membutuhkan karakter Presiden dan Wakil yang bersifat “melayani” dan bukan “dilayani”. Di sisi lain masyarakat diharapkan berpartisipasi aktif dalam perubahan hukum yang terjadi lewat proses politik. Namun, caranya bukan melalui institusi-institusi hukum yang hanya menjawab tuntutan-tuntutan politik.

Mengubah sistem hukum Indonesia menjadi responsif akan sangat dipengaruhi oleh aspirasi masyarakat. Cara berpikir masyarakat juga memengaruhi sistem hukum. Kenyataannya masyarakat memiliki kepentingan-kepentingan—sebagaimana diungkapkan oleh Max Weber—bahwa kepentingan tersebut meliputi kepentingan material dan ideal.

Selain itu, lembaga keadilan juga harus adil dan kompeten dalam mewujudkan kepentingan publik sehingga terwujud keadilan yang merata bagi seluruh masyarakat. Ciri khas hukum responsif adalah adaptasi institusi hukum—yang bersifat pasif dan oportunistik—terhadap lingkungan sosial dan politik. Lembaga keadilan harus tidak pandang bulu dalam mengutamakan keterbukaan dan menjaga integritas lembaga hukum.

*)Prof. Dr. Frans Hendra Winarta, S.H., M.H.adalah pendiri Frans Winarta & Partners (FWP); Jeniffer Queenstanti, S.H. adalah Associate di FWP.

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait