Mengenal Hibah-Hibah yang Dibatalkan Pengadilan dalam Praktik
Fokus

Mengenal Hibah-Hibah yang Dibatalkan Pengadilan dalam Praktik

Hibah merupakan salah satu bentuk pengalihan harta kepada orang lain. Penghibahan yang tak memenuhi ketentuan dapat dibatalkan hakim. Simak beberapa contoh putusannya.

Muhammad Yasin
Bacaan 7 Menit

Konteks tulisan ini adalah hibah dalam lingkup keperdataan dan hukum Islam. Bagi profesi hukum, khususnya yang menjalankan litigasi di pengadilan, penting memahami beberapa putusan pengadilan yang membatalkan hibah. Ada juga yang secara tegas disebutkan dalam Pasal 1688 KUH Perdata berkaitan dengan pencabutan kembali hibah. Berikut ini adalah contoh-contoh putusan mengenai hibah yang dibatalkan pengadilan.

Hukumonline.com

Seseorang boleh menghibahkan hartanya kepada orang lain secara sukarela. Tetapi jumlah harta yang dihibahkan tidak boleh merugikan kepentingan ahli waris. Kompilasi Hukum Islam menegaskan Pasal 881 ayat (2) KUH Perdata tegas menyebutkan ‘dengan suatu pengangkatan waris atau pemberian hibah yang demikian, pewaris tidak boleh merugikan ahli warisnya yang berhak atas suatu bagian mutlak. Kompilasi Hukum Islam menganut prinsip bahwa hibah hanya boleh dilakukan maksimal sepertiga dari harta yang dimiliki penghibah. Hibah orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai waris.

Pada 23 April 2019 lalu, Mahkamah Agung telah menguatkan putusan pengadilan terdahulu yang membatalkan hibah kepada tergugat. Ahli waris penghibah telah menggugat penerima hibah ke pengadilan dengan alasan hibah yang dilakukan orang tua mereka merugikan legitieme portie ahli waris lainnya.

Legitieme portie adalah suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan oleh orang-orang yang meninggalkan warisan. Mahkamah Agung menolak upaya hukum peninjauan kembali yang diajukan tergugat dengan pertimbangan bahwa hibah dari orang tua penggugat kepada tergugat ‘telah melanggar ketentuan bagian mutlak (legitieme portie) dari para ahli waris lainnya, karena itu putusan judex facti dan judex juris yang membatalkan hibah tersebut sudah benar’ (Putusan MA No. 198 PK/Pdt/2019). 

Ada juga sejumlah putusan pengadilan lainnya yang akhirnya membatalkan hibah karena hakim menilai hibah yang disengketakan merugikan kepentingan ahli waris. Putusan Mahkamah Agung No. 956 K/Pdt/1991 tanggal 30 Oktober 1996 memuat kaidah hukum: ‘batal demi hukum hibah yang merugikan ahli waris’. Di lingkungan peradilan agama juga pernah diputus dan dianut prinsip yang demikian. Misalnya, putusan Mahkamah Agung No. 76 K/AG/1992 tanggal 23 Oktober 1993, yang memuat kaidah hukum berikut: ‘Luas tanah hibah tidak boleh melebihi ketentuan hukum. Dalam perkara ini ternyata objek sengketa, yaitu tanah yang dihibahkan pewaris melebihi sepertiga luas tanah milik pewaris, sehingga bertentangan dengan ketentuan hukum’. Putusan MA No. 2161 K/Pdt/1995 juga memuat kaidah hukum senada: hibah dapat dibatalkan apabila terbukti merugikan hak ahli waris lainnya.

Hukumonline.com

Pasal 210 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah. Demikianlah yang seharusnya terjadi. Penghibah hanya bisa menghibahkan harta atau benda yang menjadi haknya; ia tidak dapat menghibahkan harta milik orang lain. Itu pula sebabnya, penghibah masih tetap dimungkinkan untuk menikmati hasil dari hibah.

Berdasarkan putusan Mahkamah Agung No. 1425 K/Pdt 1985 tanggal 24 Juni 1991: “Perbuatan hukum berupa hibah tanah yang dilakukan oleh bukan pemilik tanah tidak sah karena bertentangan dengan hukum dan hak milik orang lain. Hibah yang demikian dapat dibatalkan”.

Halaman Selanjutnya:
Tags: