Menuntut Kepatuhan Etika Advokat Saat Menjadi Pejabat Negara
Advokat di Pusaran Pemilu

Menuntut Kepatuhan Etika Advokat Saat Menjadi Pejabat Negara

​​​​​​​Sesuai UU Advokat terdapat larangan bagi advokat untuk merangkap jabatan. Jangan sampai tidak mengajukan cuti dan berpraktik sebagai advokat secara diam-diam.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

 

Terhadap kantor hukum milik advokat yang bersangkutan, Luhut menjelaskan, boleh tetap berjalan. Namun demikian, terkait identitas kantor hukum yang berkaitan dengan advokat tersebut mesti diubah, atau minimal diberi keterangan bahwa advokat yang bersangkutan nonaktif untuk sementara waktu. 

 

“Kalau itu sih boleh. Tapi kan gak boleh namanya kan. Harus diturukan plangnya. Kalau misalnya plangnya ada tapi ditulis non aktif, mungkin boleh sehingga partnernya atau advokat-advokatnya tetap berpraktik,” terang Luhut.

 

Terhadap Advokat yang ketahuan melanggar ketentuan ini, Luhut mengingatkan ada konsekuensi hukumnya. Karena ketentuan larangan rangkap jabatan atau cuti sementara tersebut diatur dalam UU advokat, maka pelanggarnya dianggap melanggar UU sehingga bisa diproses oleh Dewan Kehormatan Advokat. Sementara pihak pengadu dalam hal ini adalah organisasi advokat.

 

Selain Dewan Kehormatan, pengaduannya juga bisa disampaikan ke Komisi Pengawas Advokat. “Atau juga bisa melalui komisi pengawas, karena ada juga komisi pengawas. Sanksinya akan bisa berjenjang. Advokat tidak boleh merangkap jabatan sesuai dengan aturan UU Advokat,” ujar Luhut.

 

Hukumonline.com

 

Sementara itu, Wakil Ketua Peradi kubu Juniver Girsang, Harry Ponto, mengatakan, ketentuan Pasal 20 UU advokat tersebut bertujuan untuk mengantisipasi adanya advokat yang menyalahgunakan posisinya sebagai pejabat publik untuk kepentingan profesinya sebagai advokat. Ia menyebutkan, bahwa perdebatan mengenai mengenai adanya ketentuan larangan advokat rangkap jabatan sudah ada sejak pembahasan rancangan UU Advokat. Karena dirasa penting maka ketentuan tersebut akhirnya diatur dalam UU Advokat.

 

Harry membandingkan dengan negara Jepang yang tidak adanya larangan untuk advokat rangkap jabatan dengan pejabat publik. “Karena pejabat publik di Jepang berdedikasi penuh terhadap pekerjaannya. Sehingga apabila mereka sudah menjadi anggota parlemen, mereka tidak memiliki waktu lagi untuk berpraktik (sebagai advokat),” ungkap Harry.

 

Hukumonline.com

 

Harry juga menyebutkan selama ini belum menemukan adanya pelanggaran terhadap ketentuan larangan rangkap jabatan advokat tersebut. Hal ini berangkat dari pengalamannya ketika berhadapan dengan sejumlah pejabat publik yang sedang cuti dari profesi advokat saat hendak memperpanjang kartu keanggotaan advokatnya.

 

“Ada teman-teman yang meminta diuruskan kartu advokatnya meskipun mereka sudah tidak beracara (karena cuti). Nampaknya ini semacam pengingat buat mereka bahwa mereka juga anggota advokat,” tutup Harry.

Tags:

Berita Terkait