MK Diminta Batalkan Frasa ‘Batal Demi Hukum’ dalam KUHAP
Berita

MK Diminta Batalkan Frasa ‘Batal Demi Hukum’ dalam KUHAP

Pemohon diminta untuk memperbaiki petitum permohonan karena dinilai ambigu.

ash
Bacaan 2 Menit
MK diminta batalkan Frasa Batal Demi Hukuk dalam KUHAP. Foto: Sgp
MK diminta batalkan Frasa Batal Demi Hukuk dalam KUHAP. Foto: Sgp

Majelis Panel Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang permohonan uji materi Pasal 197 ayat (1) huruf k, ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dimohonkan terpidana kasus perambahan hutan, Parlin Riduansyah. Melalui kuasa hukumnya, Parlin meminta MK membatalkan frasa “batal demi hukum” yang terdapat dalam pasal yang dimaksud.

“Pemohon mengharap MK menyatakan norma Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan menyatakan frasa ‘batal demi hukum’ dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945, Pasal 197 ayat (1) huruf k harus ditafsirkan berlaku untuk semua tingkat peradilan dan menegaskan putusan yang  batal demi hukum tidak mempunyai kekuatan eksekutorial,” kata kuasa hukum pemohon, Yusril Ihza Mahendra dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Gedung MK, Jumat (27/7).

Ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP memuat 12 poin yang harus dimuat dalam putusan pemidanaan. Apabila salah satu poin tidak termuat dalam putusan mengakibatkan putusan batal demi hukum sebagaimana ditegaskan Pasal 197 ayat (2) KUHAP. Selengkapnya, Pasal 197 ayat (1) huruf k berbunyi, “Surat putusan pemidanaan memuat : k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan.”

Sebelumnya, Parlin yang merupakan buronan Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan tertangkap di Malang. Langkah ini dijalankan Kejaksaan sesuai dengan putusan MA Nomor 157 PK/PID.Sus/2011 tertanggal 16 September 2011 yang menjatuhkan vonis 3 tahun penjara. 

Yusril yang juga menjadi kuasa hukum Parlin menolak eksekusi dengan dalih putusan MA itu tidak memenuhi syarat formal Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP yakni tidak mencantumkan perintah penahanan. Karena itu, pemohon menempuh langkah hukum dengan menguji aturan itu ke MK.

Dalam sidang yang diketuai Achmad Fadlil Sumadi, Yusril menuturkan berlakunya Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP bersifat multitafsir, sehingga menghilangkan hak pemohon atas jaminan due process of law dan kepastian hukum yang adil. Menurutnya, pasal itu bersifat perintah yang memaksa yang harus dicantumkan pada semua putusan pemidanaan untuk semua tingkat pengadilan (tingkat pertama, banding, kasasi/PK).         

“Pasal 197 ayat (1) KUHAP itu tidak jelas maknanya, apakah  keharusan mencantumkan semua hal yang disebutkan dalam pasal itu hanya berlaku untuk pengadilan negeri dan pengadilan tinggi saja, atau kah berlaku juga bagi Mahkamah Agung,” katanya.  

Tags: