MKMK Diminta Tindak Lanjuti Dugaan Pelanggaran etik Terkait Putusan Syarat Usia Capres
Terbaru

MKMK Diminta Tindak Lanjuti Dugaan Pelanggaran etik Terkait Putusan Syarat Usia Capres

Termasuk pelanggaran prosedural, dan/atau potensi tindak pidana yang diutarakan dalam pendapat berbeda Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. PSHK pun mendesak Anwar Usman untuk mundur sebagai Ketua MK dan Hakim Konstitusi karena dinilai menjadikan MK menjelma sebagai lembaga yang tidak independen.

Willa Wahyuni
Bacaan 5 Menit
Ketua MK Anwar Usman (tengah) saat pembacaan putusan pengujian UU Pemilu terkait syarat usia minimal capres-cawapres di ruang siang MK, Senin (16/10/2023). Foto: RES
Ketua MK Anwar Usman (tengah) saat pembacaan putusan pengujian UU Pemilu terkait syarat usia minimal capres-cawapres di ruang siang MK, Senin (16/10/2023). Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan permohonan uji materiil Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum, yang pada pokoknya menetapkan batas usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) paling rendah 40 tahun atau sedang atau pernah berpengalaman sebagai kepala daerah. Hal itu termuat dalam Putusan MK No.90/PUU-XII/2023 yang dimohonkan mahasiswa bernam Almas Tsaqibbirru Re A dari Surakarta.

Dalam putusan itu, MK mengabulkan permohonan untuk sebagian dengan menafsirkan Pasal 169 huruf q UU Pemilu bahwa syarat calon presiden dan wakil presiden menjadi berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.

Baca Juga:

Deputi Direktur Pusat Kajian Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nursyamsi menilai pertimbangan dan amar putusan yang dibuat MK makin kesasar atau tersesat. MK telah menggadaikan kredibilitas dan marwahnya sebagai the guardian of the constitution dengan bersikap inkonsisten karena para hakim konstitusi yang mengabulkan permohonan pemohon secara drastis berubah pandangan.

“Para hakim tersebut sebelumnya menolak tegas permohonan dalam Putusan MK Nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 dengan alasan pengujian bukan persoalan konstitusional, melainkan open legal policy. Tetapi, dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang secara substansi mempersoalkan hal yang sama, malah mengabulkan permohonan untuk sebagian dan memberi tambahan norma baru pada syarat capres-cawapres,” ujar Fajri Nursyamsi dalam keterangan tertulisnya, Selasa (17/10/2023).

Kondisi demikian menimbulkan pertanyaan, apakah terdapat indikasi desakan, ancaman, atau intervensi yang potensial mengganggu independensi hakim konstitusi tersebut. Lebih daripada itu, MK telah melakukan praktik cherry-picking jurisprudence untuk menafsirkan open legal policy, yang berbahaya bagi kelembagaan dan legitimasi putusan MK.

Bagi PSHK terdapat beberapa persoalan yang berbahaya bagi kelembagaan dan legitimasi putusan MK. Diantaranya MK dianggap ‘manut’ kepada permintaan DPR dan Presiden untuk menyesuaikan perubahan norma syarat usia calon presiden dan wakil presiden. MK telah melepaskan predikat kekuasaan kehakiman untuk menjalankan fungsi checks and balances, dan malah menjadi alat politik DPR dan Presiden untuk melakukan perubahan undang-undang secara instan dan tidak melibatkan partisipasi publik.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait