Nama BW Disebut dalam Permohonan Judicial Review
Berita

Nama BW Disebut dalam Permohonan Judicial Review

Tersangka ingin memperjelas makna ‘bukti permulaan’ dan ‘bukti permulaan yang cukup’.

M-22
Bacaan 2 Menit
Pemohon Prinsipal yang diwakili kuasanya oleh Tommy Sihotang (tengah) saat menyampaikan dalil-dalil permohonan dalam sidang pengujian KUHAP, Selasa (11/11). Foto: Humas MK
Pemohon Prinsipal yang diwakili kuasanya oleh Tommy Sihotang (tengah) saat menyampaikan dalil-dalil permohonan dalam sidang pengujian KUHAP, Selasa (11/11). Foto: Humas MK
Sudah lebih sebulan Bupati Tapanuli Tengah nonaktif Bonaran Situmeang ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pria yang sebelum jadi bupati berprofesi sebagai advokat ini dinyatakan tersangka penyuapan (saat itu) Ketua Mahkamah Konstitusi M. Akil Mochtar.

Bonaran berusaha memperjuangkan hak. Ia mempersoalkan dasar penetapan status tersangka yang ditetapkan penyidik KPK. Berdasarkan Pasal 1 angka 14 KUHAP, tersangka adalah seorang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Pasal 17 KUHAP menyebutkan perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

‘Bukti permulaan’ yang menjadi dasar penetapan tersangka, dan ‘bukti permulaan yang cukup’ sebagai dasar penangkapan itulah yang coba dimohonkan uji oleh Bonaran ke Mahkamah Konstitusi. Sidangnya sudah digelar pada Selasa (11/11) lalu.

Pengacara Bonaran, Tommy Sihotang, menjelaskan kliennya menilai frasa ‘bukti permulaan’ dan ‘bukti permulaan yang cukup’ sangat multitafsir dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab, tidak ada batasan yang jelas bagaimana mekanismenya. Terbukti, saat diperiksa penyidik KPK, Bonaran meminta bukti yang menjadi dasar penetapannya sebagai tersangka, tetapi tidak diberikan.

Menurut Tommy, tindakan penyidik menetapkan seseorang menjadi tersangka tanpa akuntabilitas bukti permulaan, tindakan itu sewenang-wenang dan melanggar hak konstitusional warga negara. Itu pula yang dialami kliennya saat ditetapkan sebagai tersangka kasus suap.

Dalam permohonan itu, nama Bambang Widjojanto (BW), komisioner KPK, juga disebut. Pemohon menyebutkan BW punya benturan kepentingan (conflict of interest) dalam menangani kasus Bonaran. BW menjadi kuasa hukum salah satu pasangan kepala daerah yang bersengketa di Mahkamah Konstitusi, sedangkan Bonaran adalah calon bupati Tapanuli Tengah.  

Majelis hakim konstitusi menilai permohonan pengujian Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP masih memiliki banyak kelemahan. Karena itu hakim member saran untuk diperbaiki dalam waktu 14 hari ke depan.

Hakim konstitusi Maria Farida Indrati, misalnya, melihat permohonan masih terlalu banyak menguraikan kasus-kasus konkrit yang dialami pemohon. Padahal Mahkamah Konstitusi bukan menguji kasus konkrit, wewenangnya adalah menguji konstitusionalitas pasal Undang-Undang dihubungkan dengan UUD. “Isi gugatan lebih banyak menggambarkan kasus yang konkret dan bukan menggambarkan pertentangan Pasal yang akan diuji konstitusionalitasnya” ujarnya.

Tidak ada salahnya menyebut kasus konkrit. Tetapi kasus konkrit itu harus dijadikan pijakan menguraikan pasal yang dimohonkan uji, lalu dihubungkan dengan konstitusi yang menjadi batu ujiannya. Maria juga menyinggung  nama BW dan petitum tentang konflik kepentingan. Ia mempertanyakan hubungan konflik kepentingan dengan pasal yang dimohonkan. “Kalau  conflict  of  interest  itu  menjadi petitum, di dalam putusan nggak mungkin itu ya,” kata Maria.

Tommy Sihotang berjanji akan memperbaiki permohonan sesuai saran majelis. “Perbaikan gugatan nanti kita masukkan sekaligus penambahan saran dari majelis hakim panel,” kata Tommy.
Tags:

Berita Terkait