Pegawai MA Akui Sebagian Hartanya dari Urus Perkara
Berita

Pegawai MA Akui Sebagian Hartanya dari Urus Perkara

Dengan take home pay sekitar Rp21 juta sebulan, Andri berani menyicil rumah sebesar Rp70 juta per bulan.

ANT
Bacaan 2 Menit
Andri Tristianto Sutrisna di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (28/7). Foto: RES
Andri Tristianto Sutrisna di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (28/7). Foto: RES
Kasubdit Kasasi Perdata Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung (MA), Andri Tristianto Sutrisna, mengakui pembelian sebagian harta bendanya diperoleh dari fee mengurus perkara di MA. "Beli mobil mungkin ada salah satunya dari situ (pengurusan perkara) yang mulia," kata Andri dalam sidang pemeriksaan terdakwa di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (28/7).

Andri didakwa menerima suap sebesar Rp400 juta dari pemilik PT CGA Ichsan Suaidi melalui pengacara Ichsan yaitu Awang Lazuardi Embat. Uang diberikan agar Andri menunda pengiriman salinan putusan kasasi atas nama Ichsan Suaidi dalam perkara tindak pidana korupsi proyek pembangunan Pelabuhan Labuhan Haji di Lombok Timur sehingga pengacara punya waktu untuk mempersiapkan memori Peninjauan Kembali (PK).

Ia juga didakwa menerima gratifikasi sebesar Rp500 juta terkait dengan kewenangannya yaitu mengenai sejumlah perkara Tata Usaha Negara (TUN) dan tindak pidana khusus (pidsus) yang ditangani oleh pengacara di Pekanbaru Riau bernama Asep Ruhiat. "Mobil ada empat, satu itu Honda Mobilio atas nama anak saya. Dibeli cash pada 2014 senilai sekitar Rp160 juta, itu untuk mobil keluarga,” ucapnya.

Kedua, mobil Toyota Altis tahun 2011, harganya sekitar Rp300 juta, beli baru atas nama Andri sendiri. Ketiga mobil Nissan Juke seharga Rp200 juta dibeli pada 2011 dan keempat Ford pada tahun 2015.Andri pun masih memiliki dua rumah di cluster San Lorenzo Gading Serpong Tangerang Banten dan Serpong.

"Rencananya rumah saya mau jual lagi. Orang tua saya kena stroke waktu itu, saya jadi tumpuan keluarga, saya juga bantu adik-adik dan orangtua," kata Andri.

Andri pun pernah mengajukan cicilan rumah sebesar Rp70 juta per bulan dengan pengeluaran operasional rumah sebesar Rp10 juta per bulan. Padahal Andri yang menjabat sebagai Kasubdit Kasasi Perdata Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Badan Peradilan Umum MA dengan golongan IV B sejak 2013 itu mengaku gaji pokoknya berjumlah sekitar Rp5 juta.

"Take home pay Rp21 juta karena remunerasi Rp15 juta dan gaji Rp5 juta sekian. Saya ada usaha lain tapi hanya menitipkan modal sekitar Rp3 juta," ungkap Andri.

Andri sendiri berkarier di MA sejak 1991. Istrinya punya usaha menjahit, namun saat ini ia sudah berpisah dengan istrinya. "Saya dan istri sudah berpisah karena sebelumnya dia sudah mau (pisah) tapi saya minta diteruskan. Saya mohon minta maaf ke orang tua saya karena mencoreng nama orang tua," ujar Andri sambil terisak. Ia memohon untuk divonis seringan-ringannya.

Kepada bapak dan ibu, saya sebagai anak minta maaf dan menciderai nama anak-anak saya. Biarlah saya menebus kesalahan saya, semoga perbuatan saya ini tidak berulang. Kepada majelis dan jaksa penuntut umum saya mohon tuntutan dan vonis seringan-ringannya," tambah Andri sambil terisak.

Dalam persidangan, Andri mengaku berkomunikasi intens dengan besan dari Sekretaris MA Nurhadi yang bernama Taufik. Menurutnya, Taufik ini yang mengenalkan dirinya dengan Awang Lazuardi Embat. "Kenal Pak Awang itu dikenalkan Pak Taufik, besannya Pak Nurhadi, Sekma (Sekretaris MA). Pak Taufik itu wiraswasta," katanya.

Pengakuan Andri itu merupakan buntut dari rekaman percakapan melalui whatsapp messenger antara dirinya dengan Taufik yang ditunjukkan penuntut umum KPK. Dalam telpon seluler Andri, Taufik dinamakan “Nurhadi-Taufiq”. Ia mengaku, percakapan dengan Taufik terkait penanganan perkara yang di Bengkulu, sedangkan di daerah lain yang masuk dalam percakapan hanya basa-basi saja.

Atas perbuatan ini, Andri didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 dan Pasal 12B UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 
Tags:

Berita Terkait