Pelaksanaan Suatu Perjanjian: Pendapat Pengadilan dalam Perkembangannya
Kolom Hukum J. Satrio

Pelaksanaan Suatu Perjanjian: Pendapat Pengadilan dalam Perkembangannya

Tulisan ini kelanjutan dari tulisan sebelumnya yang membahas bahwa pengadilan berhak mengubah apa yang disepakati para pihak dalam perjanjian sekaligus artkel terakhir dari serial “Pelaksanaan Suatu Perjanjian” yang ditulis J. Satrio.

RED
Bacaan 2 Menit

 

Kepantasan dan kepatutan adalah pengertian yang berkaitan dengan ketertiban umum, dan karenanya para pihak tidak bisa menyepakati untuk menyimpanginya. Kepantasan dan kepatutan bisa membawa akibat, bahwa isi perjanjian perlu ditambah (diperluas) di luar kata-katanya, dan menentukan isi perjanjian bertentangan dengan kata-katanya.

 

Pelaksanaan iktikad baik bisa menubah atau menambah isi perjanjian.[5]

 

Rutten berpendapat, bahwa asas yang kaku, yang mengatakan, bahwa perjanjian berlaku bagi para pihak sebagai undang-undang, diperlunak dan mengakui adanya perkecualian, yaitu kalau keadaan yang ada adalah sedemikian rupa, sehingga pihak yang menuntut pelaksanaan apa yang telah disepakati, akan bertindak (bersikap) bertentangan dengan iktikad baik. Dengan itu mau dikatakan, bahwa tidak tertutup kemungkinan, bahwa dalam pelaksanaanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban kontraktual menjadi batal atau diubah.[6]

 

Hartkamp mengemukakan pendapatnya, bahwa kepantasan dan kepatutan merupakan sumber hak dan kewajiban, di samping yang timbul dari perjanjian, undang-undang atau kebiasaan. Asas yang mengatakan, bahwa para pihak wajib untuk berlaku dan bersikap sejalan dengan tuntutan kepantasan dan kepatutan, membawa konsekuensi, bahwa sekalipun pada asasnya orang terikat akan apa yang telah disepakati, namun bisa saja muncul keadaan, yang mengakibatkan orang tidak bisa menuntut pemenuhan apa yang telah disepakati. Dalam peristiwa yang demikian, maka daya kerja kepantasan dan kepatutan diakui, sehingga membawa akibat, bahwa apa yang disepakati dalam perjanjian, menurut ukuran kepantasan dan kepatutan, tidak bisa dibenarkan.[7]

 

Dari apa yang telah disebutkan di atas kita bisa menyimpulkan, bahwa menurut pendapat para sarjana, tuntutan agar perjanjian dilaksanakan dengan iktikad baik (Pasal 1338 ayat (3) BW) mempunyai daya kerja mengubah atau menghapus isi perjanjian.

 

Kita melihat betapa kepantasan dan kepatutan berperan sangat besar dalam pelaksanaan suatu perjanjian.

 

Kesimpulannya: tidak semua perjanjian bisa dan harus dilaksanakan sesuai dengan kata-katanya.

 

Dari apa yang diuraikan di atas, penulis sadar, betapa masih kurangnya penyebutan keputusan Pengadilan Indonesia, untuk bisa menyimpulkan pandangan Pengadilan Indonesia terhadap pelaksanaan Pasal 1388 ayat (3) BW. Semoga tulisan ini memancing para sarjana hukum untuk mencari pendapat Pengadilan kita mengenai masalah tersebut di atas.

 

Demikian penulis akhiri tulisan mengenai : “Pelaksanaan Suatu Perjanjian”, semoga bermanfaat.

 

J. Satrio

 

[1]     J.C.v. Oven, dalam makalah “Overeenkomst en goeder trouw”, dalam Nederlands Juristenblad 1926, hlm. 337.

[2]     Ibid., hlm. 353 dsl.

[3]     E.M. Meijers dalam makalah “De grenzen der toepasselijkheid van art. 1374, 3e lid B.W.”, dimuat dalam WPNR 1926 No. 2923 – 2974, hlm. 37 dsl.

[4]     HR 9 Februari 1923, NJ, 1923, 676.

[5]     A. Pitlo, Het Verbintenissenrechtm naar het Nedelands Burgelijk Wetboek, hlm. 183.

[6]     C. Asser – L.E.H. Rutten, Handleiding tot de beoefening van het Nederlands Burgelijk Recht, Verbintenissenrecht, De algemen leer der overeenkomsten, hlm. 240.

[7]     C. Asser – A.S. Hartkamp, Handleiding tot de beoefening van het Nederlands Burgelijk Recht, Verbintenissenrecht, Deel II,  Algemene leer der overeenkomsten, hlm. 279 dan 283.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait