Pembentukan Wadah Tunggal Harus Lewat Munas
Berita

Pembentukan Wadah Tunggal Harus Lewat Munas

Sebelum wadah tunggal terbentuk masing-masing organisasi advokat sudah menggelar munas/kongres untuk meminta mandat dari para anggotanya.

ASh
Bacaan 2 Menit
MK kembali gelar sidang mendengarkan keterangan saksi- saksi<br> ahli dalam pengujian UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.<br> Foto: Ilustrasi (Sgp)
MK kembali gelar sidang mendengarkan keterangan saksi- saksi<br> ahli dalam pengujian UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.<br> Foto: Ilustrasi (Sgp)

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang untuk mendengarkan keterangan saksi serta ahli dalam pengujian UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat di Gedung MK Jakarta, Rabu (13/4). Dalam sidang kali ini Mahkamah mendengarkan keterangan saksi fakta yakni Zakirudin Chaniago, Denny Kailimang, Desmaniar dan Prof JE Sahetapy.

 

Saksi Zakirudin dan Desmaniar dihadirkan oleh Kongres Advokat Indonesia (KAI), sedangkan Denny dihadirkan oleh Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Sementara, Prof JE Sahetapy adalah ahli yang hadirkan pemohon untuk memberikan keterangan tambahan.

 

Permohonan ini diajukan oleh Abraham Amos (advokat KAI), Frans Hendra Winarta (Ketua Umum Peradin), dan Husen Pelu dkk (calon advokat KAI). Mereka menguji Pasal 28 ayat (1) terkait pembentukan wadah tunggal organisasi advokat, dan Pasal 30 ayat (2), 32 ayat (3) dan (4) UU Advokat terkait kewajiban advokat menjadi anggota organisasi advokat dan aturan peralihan sebelum wadah tunggal terbentuk.

 

Dalam sidang, Zakirudin menuturkan mengacu kepada kesepakatan Tim Perumus antara pengurus Peradi dan KAI pembentukan wadah tunggal harus lewat kongres atau musyawarah nasional (Munas). “Wadah tunggal hanya bisa dibentuk lewat munas/kongres,” kata Vice President KAI itu. “Sebelumnya ide untuk membentuk wadah tunggal datang dari Adnan Buyung Nasution dengan membentuk Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) pada tahun 2002.”    

 

Ia menjelaskan Tim Perumus dari pengurus KAI dan Peradi telah merumuskan delapan butir kesepakatan pada 16 April 2010 di Hotel Nikko Jakarta untuk membentuk wadah tunggal organisasi advokat. “Tetapi saat menjelang kesepakatan damai di MA pada 24 Juni 2010, kesepakatan itu ditolak Peradi, padahal poin kesepakatan itu cukup berimbang,” ujarnya.  

 

Kesepakatan yang ditandatangani pengurus KAI dan Peradi itu di antaranya berbunyi,   KAI dan Peradi sepakat membentuk wadah tunggal organisasi advokat Indonesia dengan melaksanakan munas bersama dengan membentuk panitia bersama selambatnya-lambatnya Tahun 2012. Kemudian nama wadah tunggal akan ditentukan dalam munas itu.

 

“Tetapi kesepakatan bersama itu berbeda dengan piagam kesepakatan antara KAI dan Peradi di MA. Meski saat penandatangan nama Peradi sempat dicoret sebagai bentuk penolakan karena salah satunya nama Peradi tidak memuat logo KAI atau modifikasi logo KAI,” ungkapnya. “Akhirnya piagam kesepakatan itu tetap ditandatangani KAI dan Peradi karena MA sudah terlanjur mengundang Menkumham, perwakilan Polri, Kejaksaan, dan seluruh Ketua Pengadilan Tinggi.”                  

 

Meminta mandat         

Denny mengatakan sebelum membentuk wadah tunggal masing-masing organisasi advokat yang ada telah menggelar munas/kongres untuk meminta mandat dari para anggotanya dalam rangka pembentukkan wadah tunggal sesuai amanat Pasal 28 ayat (1) UU Advokat.

 

“Seperti AAI menggelar Munaslub pada pertengahan 2003 di Jakarta, saya waktu itu masih jadi ketua umumnya. Diikuti oleh Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI) yang menggelar Munas 2003 di Medan, Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) pada 2004 di Pontianak, begitu juga HKPM, AKHI untuk meminta mandat anggotanya,” bebernya.

 

Kemudian, lanjut Denny, para pengurus delapan organisasi yang ada itu melakukan Munas pada 12-14 Desember 2004 di Hotel Yasmin Puncak Bogor. “Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya disepakati pendeklarasian berdirinya Peradi pada 21 Desember 2004. Anggaran Dasar pertama disusun oleh Teguh Samudra yang kemudian menjadi inisiator berdirinya KAI.”

 

Sementara, JE Sahetapy dalam keterangan tambahan menilai Pasal 28 ayat (1) UU Advokat tidak bertentangan dengan konstitusi. Sebab, menurut kamus besar bahasa Indonesia frasa “satu-satunya” hanyalah berarti satu (tunggal). “Seperti organisasi profesi dokter, Ikatan Dokter Indonesia (IDI),” katanya.

 

Ketua Komisi Hukum Nasional itu menambahkan apapun bentuk organisasi advokat yang dipilih (single, multi, federation), yang penting adalah satu kode etik profesi advokat.

 

“Sebab, apapun bentuk bar association yang dipilih jika tidak ada satu kode etik advokat akan selalu terjadi ‘kutu loncat’ (pindah dari satu organisasi advokat ke organisasi advokat lainnya). Makanya MK mestinya memberi rambu-rambu dalam me-review UU Advokat ini, agar konflik advokat ini bisa membaik,” sarannya.

 

Tags: