Pemerintah Diminta Terbitkan Surat Moratorium Reklamasi Teluk Jakarta
Berita

Pemerintah Diminta Terbitkan Surat Moratorium Reklamasi Teluk Jakarta

Proyek dapat terus berjalan sepanjang tak ada keputusan yang mengikat. Selain itu, pemerintah mesti bergerak terhadap penegakan hukum agar terdapat kepastian hukum.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Proyek reklamasi Teluk Jakarta. Foto: RES
Proyek reklamasi Teluk Jakarta. Foto: RES
DPR dan pemerintah telah bersepakat melakukan moratorium atau penghentian sementara terhadap proyek reklamasi Teluk Jakarta. Namun, pemerintah diminta tak hanya beretorika seolah mengakomodir aspirasi publik. Sebaliknya, keputusan menghentikan sementara reklamasi Teluk Jakarta harus dituangkan dalam bentuk surat keputusan yang mengikat bagi semua pihak.

Hal ini disampaikan Wakil Ketua Komisi IV Viva Yoga Muladi dalam sebuah diskusi di Gedung DPR, Kamis (22/4). “Harus dituangkan dalam bentuk surat keputusan, jangan hanya di elit beretrorika lisan seolah mengakomodir kepentingan publik. Memang seharusnya dibuat surat keputusan. Secara teknisnya kita serahkan kepada pemerintah pusat, bukan hanya sekedar lisan,” ujarnya.

Menurut Yoga, kebijakan melaksanakan proyek reklamasi di Teluk Jakarta sudah terjadi perbuatan melawan hukum. Pasalnya, DPR sudah membuat sejumlah undang-undang. Mulai UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan anast UU No.27 Tahun 2007 tengang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kemudian, Peraturan Presiden (Perpres) No.54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur.

Sayangnya, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menggunakan Keppes No.52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Padahal sejak berlakunya Perpres 54/2008 maka tak berlaku lagi Keppres 52/1995. Berdasarkan aturan itulah tak ada lagi benturan regulasi yang tumpeng tindih.

Alasan lainnya, pada saat pelaksanaan pembangunan reklamasi di pulau F, G, I dan K tidak ditemukan adanya Analisis Mengendai Dampak Lingkungan (Amdal) yang memenuhi persyaratan. Berdasarkan alasan berbasis aturan, maka pemerintah dan DPR bersepakat menghentikan sementara proyek reklamasi Teluk Jakarta.

“Jadi kesimpulannya menurut Komisi IV, dari sisi yuridis tidak ada tumpeng tindih. Kemudian kalau ada yg bicara tumpang tindih, secara yuridis tidak. Konsekuensinya pemerintah pusat tidak bisa diam begitu saja, karena perizinan atas nama negara,” ujarnya.

Politisi Partai Amanat Nasional itu berpandangan Teluk Jakarta masuk kawasan strategis nasional. Makanya, pengelolaan dan pemanfaatannya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Pemerintah tak boleh melaksanakan proyek tersebut tanpa mendapat lampu hijau dari pemerintah pusat. Terkait Amdal mesti tidak diperbolehkan secara parsial, namun mesti beritegritas dan dapat dipertangungjawabkan kepada publik. Mulai aspek ekosistem, ekologi dan sosial kemasyarakatan dari aspek ekonomi.

Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Rizal Damanik mengamini pandangan Viva Yoga. Menurutnya, kebijakan menghentikan sementara proyek reklamasi sudahlah tepat. Ia pun meminta mendorong pemerintah agar melaksanakan penegakan hukum. Kepastian hukum agar reklamasi berhenti sementara penting dituangkan dalam surat keputusan.

Menurutnya, menjadi persoalan ketika di lapangan masih terjadi kegiatan melaksanakan proyek reklamasi Teluk Jakarta. Pasalnya, tak ada surat keputusan moratorium proyek reklamasi Teluk Jakarta. “Yang penting fokus pada penghentian sementara terlebih dahulu dengan adanya kebijakan yang diimplementasikan melalui surat penghentian,” imbuhnya.

Sebelumnya, Anggota Komisi IV Rahmat Handoyo mengatakan carut marutnya proyek reklamasi di Teluk Jakarta membuktikan betapa tumpang tindihnya regulasi yang ada. Meski menyetujui penghentian sementara, namun mesti dibarengi dengan adanya kebijakan yang mengikat. Tujuanya agar proyek reklamasi tidak berjalan. Ia khawatir bila tak ada aturan mengikat, maka proyek di lapangan tetap berjalan.

“Harus ada kebijakan mengikat jangan sampai di lapangan jalan terus,” ujarnya.

Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu mengatakan bila dalam rapat pemerintah menyepakati penghentian secara permanen, maka mesti adanya sanksi pidana mau pun perdata sekira di lapangan tetap dilanjutkan proyek tersebut. Menurutnya, ketika keputusan menghentikan proyek reklamasi diperlukan koordinasi antar lembaga, termasuk dengan pihak Pemda DKI.

Tags:

Berita Terkait