Pemerintah Dituntut Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM
Berita

Pemerintah Dituntut Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM

Koalisi Melawan Lupa menilai banyak fakta di lapangan yang dapat digunakan untuk mendorong penyelesaian kasus.

ADY
Bacaan 2 Menit
Pemerintah Dituntut Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM
Hukumonline
Organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Melawan Lupa menuntut pemerintah segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM. Koalisi beranggapan banyak hal yang mendukung penyelesaian kasus pelanggaran HAM, terutama kasus penghilangan paksa aktivis 1997-1998.

Menurut Koordinator KontraS, Haris Azhar, belakangan ini muncul keterangan dari pelaku sejarah yang menjelaskan peristiwa seputar kasus pelanggaran HAM yang terjadi 1997-1998. Seperti keterangan terbuka Mayjen (Purn) Kivlan Zen mengenai 13 aktivis 1997-1998 yang masih hilang hingga kini.

Haris melanjutkan, Letjen (Purn) Prabowo Subianto di acara Pepabri menyatakan siap diklarifikasi terkait peristiwa sekitar 1998. Beredarnya surat Dewan Kehormatan Perwira (DKP) dan Keppres No. 62 Tahun 1998 yang intinya memberhentikan Prabowo Subianto. Lalu, pernyataan Prabowo dalam acara debat calon Presiden dan Wakil Presiden (capres-cawapres) pada 8 Juni 2014 yang menyebut tindakan-tindakan yang telah dia lakukan agar ditanyakan kepada atasannya.

Haris menilai pemerintah dan aparat penegak hukum harus segera menindaklanjutinya guna penuntasan kasus pelanggaran HAM. “Presiden dan Kejaksaan Agung harus melakukan tindakan,” katanya dalam jumpa pers di kantor KontraS Jakarta, Selasa (17/6).

Haris menjelaskan, surat DKP yang terbit 1998 adalah mekanisme internal yang dilakukan TNI terhadap perwira. Dalam surat itu ada dugaan tindak pidana dan pelanggaran HAM. Namun, Haris menilai sampai sekarang belum ada tindak lanjut peradilan terhadap Prabowo Subianto, baik di Mahkamah Militer maupun pengadilan HAM ad hoc.

Komnas HAM sebenarnya sudah melakukan penyelidikan. Namun, Kejaksaan Agung mengembalikan tujuh berkas penyelidikan Komnas HAM yang salah satunya terkait kasus penghilangan paksa aktivis 1997-1998.

Bukan kali ini saja Kejaksaan Agung mengembalikan berkas penyelidikan Komnas HAM. Karena itu, Haris prihatin atas ketidakseriusan aparat penegak hukum menuntaskan kasus pelanggaran HAM.

Kejaksaan Agung membutuhkan dukungan politik dari Presiden SBY untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat. Dukungannya minim. Ditambah, kata Haris, anggota Komnas HAM yang partisan.  “Jadi kita berhadapan dengan institusi yang ‘rombeng’ mengurusi HAM,” ujarnya.

Isi yang tertuang dalam surat DKP menurut Haris membuktikan selama ini Presiden SBY membuang-buang waktu untuk tidak menyelesaikan pelanggaran HAM berat. Padahal, ketika itu SBY menjabat sebagai salah satu anggota DKP. Jika SBY punya kemauan politik untuk menuntaskan berbagai pelanggaran HAM berat, Haris menyebut instrumen yang ada sudah cukup mumpuni. Seperti UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan ada majelis hakim yang mampu menangani kasus HAM. “Tapi kenapa selama berkuasa SBY diam saja,” tegasnya.

Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi, menjelaskan surat DKP intinya menilai Prabowo salah analisis keadaan, dan melakukan tindakan yang harusnya menjadi wewenang atasannya dan tidak melaporkan operasi yang dilakukan kepada atasan. Lalu, melakukan tindakan penculikan, operasi di berbagai tempat, tidak taat aturan hukum, etika, sistem komando, norma-norma bangsa dan negara. “Itu fakta yang ada di dokumen,” tandasnya.

Hendardi menegaskan proses yang ada di DKP sifatnya bukan yudisial melainkan mekanisme untuk menegakan disiplin militer. Sekalipun DKP menyatakan Prabowo sudah diproses dan bersalah, bukan berarti secara hukum sudah tuntas. Sebab, mekanisme penyelesaiannya secara hukum perlu melewati seperti diatur UU Pengadilan HAM.

Menurut Hendardi, sepanjang SBY berkuasa pengadilan HAM tak kunjung dibentuk. Padahal, DPR sudah memerintahkan Presiden menerbitkan Keppres guna membentuk pengadilan HAM ad hoc. “Yang ada Kejaksaan Agung malah mengembalikan berkas ke Komnas HAM”.

Terpisah, komisioner Komnas HAM, Roichatul Aswidah, membenarkan ada tujuh berkas penyelidikan Komnas HAM yang dikembalikan Kejaksaan Agung. Ketujuh berkas itu meliputi kasus dugaan pelanggaran HAM berat Trisakti, Semanggi 1 dan Semanggi 2, Kerusuhan Mei 1998, Penghilangan Paksa Aktivis 1997-1998, Penembakan Misterius (Petrus), Talangsari, 1965, Wasior dan Wamena. “Penghilangan Paksa diterima Komnas 5 Juni 2014 dan lainnya 6 Juni 2014,” kata perempuan yang biasa disapa Roi itu.

Kejaksaan mengembalikan berkas penyelidikan itu dengan alasan Komnas HAM belum memenuhi persyaratan formil dan materil. Seperti penyelidik harus disumpah dan terkait pemenuhan unsur terpenuhinya kejahatan kemanusiaan. Namun Roi mengakui ada perbedaan pandangan antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung terkait hal tersebut. Tim gabungan adalah jalan keluar mengatasi perbedaan itu.
Tags:

Berita Terkait