Pemerintah Kaji Aturan Ketenagakerjaan Transportasi Daring
Berita

Pemerintah Kaji Aturan Ketenagakerjaan Transportasi Daring

Relasi antara pengemudi dan perusahaan operator apakah layak disebut kemitraan atau hubungan kerja?

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pengendara transportasi berbasis aplikasi. Foto: BAS
Ilustrasi pengendara transportasi berbasis aplikasi. Foto: BAS

Era digital mendorong perkembangan transportasi daring semakin pesat. Selaras itu pemerintah berupaya menerbitkan regulasi untuk mengatur transportasi daring. Pengaturan itu salah satunya akan menyasar bidang ketenagakerjaan. Kementerian Ketenagakerjaan sampai sekarang masih melakukan kajian mengenai aspek ketenagakerjaan dalam bisnis transportasi daring. Menteri Ketenagakerjaan, M Hanif Dhakiri, mengatakan pihaknya belum dapat membeberkan hasil akhir kajian itu karena lintas kementerian dan lembaga masih melakukan koordinasi.

 

Hanif berkomitmen hasilnya akan disampaikan dalam waktu dekat. “Intinya kita perlu solusi, apakah nantinya solusi itu berupa regulasi atau hanya sekedar kebijakan tertentu. Kita belum bisa bicara terlalu jauh. Tapi dari sisi ketenagakerjaan, kita akan beri pertimbangan kepada Kemkominfo dan Kemenhub yang merupakan leading sector dari bisnis transportas online ini," katanya dalam keterangan pers, Kamis (29/3).

 

Dalam melihat bisnis transportasi daring Hanif mencatat sedikitnya ada 3 hal yang perlu dipertimbangankan. Pertama, bisnis ini berkontribusi membuka lapangan kerja sehingga harus diciptakan ruang yang kondusif. Kedua, pengaturan bisnis transportasi daring harus melihat kelaziman yang berkembang di luar negeri. Dari situ bisa dicari formula yang tepat untuk diterapkan di Indonesia.

 

(Baca juga: Begini Cara Dua Kota Atur Ojek Motor)

 

Ketiga, perlu skema hubungan kerja yang jelas guna menjamin kepastian bagi kedua pihak dan penghitungan yang pasti bagi pengemudi. Tapi, pengaturan untuk transportasi daring yang menggunakan sepeda motor tidak mudah karena UU No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan secara eksplisit menyebut sepeda motor tidak termasuk moda transportasi publik. "Belum lagi jika dikaitkan dengan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), keselamatan berkendara (road safety)," tukasnya.

 

Menyinggung peleburan dua perusahaan operator transportasi daring yang beroperasi di Indonesia, Hanif melihat itu sebagai dinamika industri. Menurutnya hubungan antara operator, penyedia aplikasi serta hubungan kerja mitra usaha masih samar.

 

Selaras itu Hanif menambahkan aspek ketenagakerjaan juga melihat dari pola hubungan kerja. Adanya hubungan kerja berarti melekat norma ketenagakerjaan yang harus dilaksanakan. "Tapi, sebaliknya  kalau tidak ada norma, pasti complicated. Jadi hubungan kerjanya tak standar. Ini yang harus dicarikan solusi terbaik, “ ujarnya.

 

Sekjen OPSI, Timboel Siregar, mengatakan kemajuan teknologi akan mempengaruhi relasi kerja. Sistem kerja lebih fleksibel dan mengarah ke freelance. Menurutnya transportasi daring bukan hal baru, Kementerian Ketenagakerjaan harusnya sudah mengantisipasi jauh hari sebelumnya dengan cara melakukan kajian.

 

Mengenai hubungan kerja, Timboel mengusulkan agar kebijakan ketenagakerjaan untuk transportasi daring jangan terlalu kaku. Jangan sampai menutup akses pekerja yang saat ini sudah bekerja di perusahaan untuk ikut bergabung menjadi pengemudi transportasi daring. Dengan begitu mereka bisa mencari pendapatan tambahan.

 

Timboel mendukung upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja transportasi daring. Misalnya, mengatur upah layak, bisa dilakukan dengan menyesuaikan biaya per kilometer jarak yang ditempuh. "Jadi biaya per kilometer itu tidak hanya ditentukan oleh Kementerian Perhubungan tapi juga Kementerian Ketenagakerjaan," urainya di Jakarta, Sabtu (31/3).

 

Untuk perlindungan, Timboel mengatakan Kementerian Ketenagakerjaan bisa menerbitkan regulasi yang mewajibkan seluruh pekerja transportasi daring untuk ikut menjadi peserta program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) BPJS Ketenagakerjaan. Operator transportasi daring bisa memotong pendapatan pengemudi untuk kepentingan pembayaran iuran dan selanjutnya disetor ke BPJS Ketenagakerjaan.

 

Advokat publik LBH Jakarta, Oky Wiratama Siagian, mengatakan merger yang dilakukan dua operator transportasi daring berdampak terhadap pekerja. Sebagian pekerja mendapat notifikasi untuk melakukan registrasi ulang, tapi bagi pengemudi yang sudah lanjut usia dan penyandang disabilitas tidak dijamin untuk diterima.

 

Kebijakan untuk tidak mempekerjakan pekerja dengan alasan disabilitas menurut Oky melanggar UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Begitu pula dengan kebijakan daftar ulang tanpa memberikan hak pekerja, itu merupakan pelanggaran. Padahal hubungan kerja operator yang bisnisnya dicaplok operator lain itu dengan para pengemudinya bukan kemitraan tapi hubungan kerja. "Istilah kemitraan dijadikan kedok untuk meniadakan kewajiban pengusaha untuk memenuhi hak pekerja," paparnya.

 

Oky menjelaskan kemitraan telah diatur dalam. Peraturan Pemerintah (PP) No. 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan. Regulasi itu mengatur ada 4 syarat kemitraan. Pertama, adanya hubungan kerjasama antara 2 pihak atau lebih. Kedua, ada relasi hubungan yang setara antara kedua belah pihak. Ketiga, ada keterbukaan/ transparansi.

 

Keempat, ada hubungan yang saling menguntungkan terhadap kedua belah pihak yang mengikatkan diri ke dalam perjanjian kemitraan. Sedangkan perjanjian yang dijalin saat ini lebih tepat dikategorikan hubungan kerja sebagaimana diatur UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. "Karena memiliki karakteristik pekerja menjalankan perintah dan menerima upah," urai Oky.

 

UU Ketenagakerjaan mengatur ketika terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak buruh. Oleh karena itu kebijakan daftar ulang yang digulirkan salah satu operator transportasi daring yang merger itu tidak boleh diartikan masa kerja para pekerja dihitung lagi dari nol. Jika dalam proses peleburan itu mengakibatkan pemutusan hubungan kerja (PHK) karena pengusaha baru tidak bersedia menerima pekerja maka pekerja berhak menerima pesangon 2 kali ketentuan.

Tags:

Berita Terkait