Pemerintah Perlu Berpikir Panjang Soal BBM
Utama

Pemerintah Perlu Berpikir Panjang Soal BBM

DPR seharusnya turut bertanggung jawab karena menyetujui UU APBN 2012 yang mengandung banyak masalah.

Oleh:
yoz
Bacaan 2 Menit
Pemerintah belum tentukan sikap batasi konsumsi atau naikkan harga BBM bersubsidi. Foto: SGP
Pemerintah belum tentukan sikap batasi konsumsi atau naikkan harga BBM bersubsidi. Foto: SGP

Sampai saat ini, pemerintah belum menentukan sikap apakah akan membatasi konsumsi atau menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Dalam acara diskusi publik ILUNI UI, “Mengkaji Alternatif Kebijakan BBM: Tambah Subsidi, Pembatasan atau Kenaikan Harga” di Aula Fakultas Kedokteran UI, Kamis (9/2), beberapa pihak menginginkan adanya kenaikan harga BBM dibanding membatasi penggunaannya.

Ketua DPR Marzuki Alie mengakui pembatasan BBM bersubsidi yang rencananya dilakukan awal April 2012 akan sulit dilaksanakan. Menurutnya, kebijakan itu seakan-akan mendiskrimasi para pengguna BBM. Bukan tidak mungkin, sepanjang ada kesepakatan antara pemerintah dan legislatif dalam pembahasan APBN-Perubahan 2012, kebijakan menaikkan harga BBM bisa dilakukan.


“Keputusan ada Presiden. Tapi perlu ada kesepakatan antara Presiden, DPR, dan pemerintah,” ujarnya.

Marzuki mengingatkan, berbagai kebijakan yang dilakukan pemerintah terkait BBM jangan hanya untuk mengamankan subsidi dan kuota APBN, tapi perlu dipikirkan juga bagaimana dampak dari kebijakan yang diambil ke depannya. Politisi Partai Demokrat ini sendiri berharap agar pemerintah mengambil tiga opsi sekaligus, yaitu menambah subsidi, membatasi, dan menaikkan harga BBM.

“Tiga-tiganya saja diambil. Tapi itu tadi, kebijakan tersebut perlu dipikirkan dampak jangka panjangnya. Whats next? Bagaimana nanti di 2013 dan seterusnya,” tuturnya.

Marzuki menambahkan, ke depan pemerintah perlu memberdayakan sumber energi baru dan terbarukan secara konsisten dan berkelanjutan agar BBM dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, mengingat jumlah minyak yang semakin sedikit dari waktu ke waktu.

Sebagai solusi jangka panjang untuk permasalahan ini, ia menyarankan perlunya percepatan program konversi BBM ke BBG, percepatan pembangunan infrastruktur BBM Pertamax dan percepatan pembangunan infrastruktur transportasi publik seperti kereta api bandara serta monorail.

Mantan Kepala BPH Migas, Tubagus haryono, berpendapat sama. Menurutnya, pembatasan konsumsi BBM bersubsidi sulit dilakukan dalam waktu dekat. Soalnya, hanya rata-rata 14,47 persen saja BBM subsidi yang tepat sasaran. Hal ini disebabkan banyaknya mafia atau spekulan BBM dalam realisasi pelaksanaan BBM bersubsidi.

“Terlalu banyak maling di negara ini. Oleh sebab itu, BBM bersubsidi kebanyakan tidak tepat sasaran,” tuturnya.

Di tempat yang sama, ekonom dari UGM Anggito Abimanyu mengatakan, program konversi dari BBM ke gas yang dicanangkan pemerintah tidak akan berjalan mulus karena terdapat permasalahan yang belum diselesaikan. Salah satunya adalah adanya perbedaan harga antara BBM bersubsidi dan gas yang tidak rasional. Bahkan, dibandingkan dengan liquefied gas for vehicle (LGV), harga BBM bersubsidi justru lebih murah.

Menurutnya, harga compressed natural gas (CNG) Rp4.100 dan LGV Rp5.500 per liter, sedangkan premium Rp4.500. Selain itu, keamanan dan kelaikan konverter bahan bakar gas BBG belum teruji. Infrastruktur stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) di Indonesia juga masih minim dan tidak merata.

Atas dasar itu, Anggito menyarankan kenaikan harga BBM bersubsidi Rp500-1.000 per liter. Anggaran penghematan tersebut dapat diberikan insentif untuk BBG. “BBG bukan opsi, tetapi wajib sebagai bahan bakar yang terjangkau, aman, dan ramah lingkungan,” terangnya.

Dalam kesempatan ini, Anggito sempat mengkritik cara DPR dalam menolak opsi pembatasan BBM yang diajukan pemerintah. Dia menjelaskan, salah satu alasan pemerintah mengajukan pembatasan BBM dikarenakan adanya amanah dalam Pasal 7 ayat (7) UU APBN 2012. Beleid itu menyatakan, penghematan konsumsi BBM premium 2,5 juta KL dan harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan.

Anggito mengatakan, dalam hal ini DPR juga turut bertanggung jawab karena menyetujui undang-undang ini, yang tidak memperbolehkan kenaikan BBM bersubsidi. Dia sendiri beranggapan UU APBN 2012 banyak mengandung masalah, antara lain tidak memasukkan adanya opsi penyesuaian harga BBM.

“Undang-undang itu bermasalah karena turut mencantumkan batas waktu awal pembatasan premium 1 April 2012. Padahal pemerintah tidak siap,” tandasnya.

Tags: