Pemerintah Targetkan RUU KUHP Rampung Tahun 2015
Utama

Pemerintah Targetkan RUU KUHP Rampung Tahun 2015

Untuk RUU KUHAP akan diselesaikan tahun berikutnya.

FAT
Bacaan 2 Menit
Wicipto Setiadi. Foto: Sgp
Wicipto Setiadi. Foto: Sgp
Pemerintah menargetkan untuk menyelesaikan pembahasan RUU KUHP pada tahun 2015. Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Wicipto Setiadi, mengatakan RUU KUHP akan masuk sebagai prioritas tahunan pemerintah.

“KUHP iya, prioritas 2015,” kata Wicipto kepada hukumonline, di Jakarta, Rabu (26/11).

Ia mengatakan, selesai KUHP dibahas, baru dimulai pembahasan RUU KUHAP. Atas dasar itu, RUU KUHAP masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) pemerintah jangka menengah 2015-2019. “Kalau KUHP selesai, baru di tahun berikutnya KUHAP,” kata Wicipto.

Meski begitu, lanjut Wicipto, untuk pembahasan KUHP masih memerlukan sejumlah masukan dari aparat penegak hukum, seperti KPK, Kepolisian dan Kejaksaan. Masukan ini untuk mencari tahu mengenai pasal-pasal yang sempat menjadi diskusi panjang di publik.

Selain RUU KUHP, di tahun 2015 sejumlah RUU yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi juga menjadi prioritas pemerintah. Misalnya, RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana dan RUU yang berkaitan dengan perjanjian ekstradisi serta Mutual Legal Assistance (MLA).

Kepala Badan Pembangunan Hukum Nasional (BPHN) Kemenkumham, Enny Nurbaningsih, tak menampik bahwa pemerintah akan memprioritaskan RUU KUHP pembahasan pada tahun 2015. Ia berharap hal ini menjadi sebuah dorongan bagi pemerintah untuk memiliki hukum nasional yang mengatur sistem penegakan hukum di Indonesia.

“Jadi ini menjadi dorongan salah satu prioritas yang akan kita lakukan karena sudah dari tahun 1963, ini akan kita dorong,” kata Enny saat berbincang dengan hukumonline di kantornya.

Menurut Enny, jika ada substansi yang belum selaras terkait dengan RUU KUHP, pemerintah siap untuk memfasilitasi. Tujuannya agar pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR tidak memakan waktu yang lama. Sehingga, Indonesia bisa memiliki sistem penegakan hukum yang baik.

“Yang tidak selaras selama ini, yang menyangkut antar kelembagaan lain itu kita dudukkan bersama. Jadi Pak Menteri sudah mendorong untuk dudukkan bersama,” ujar Enny.

Ia menuturkan, terdapat sejumlah syarat teknis yang harus ada dalam menyusun Prolegnas tahunan. Misalnya, RUU yang diajukan wajib sudah ada naskah akademiknya. Kemudian, naskah akademik tersebut bisa diselaraskan sehingga dapat menjadi panduan dalam menyusun UU.

Syarat lainnya, lanjut Enny, draf RUU harus sudah tersedia. Lalu, pembahasan antar kementerian dan lembaga terkait RUU wajib sudah selesai di Kemenkumham. Bukan hanya itu, rapat harmonisasi di Kemenkumham juga harus sudah selesai. Menurutnya, syarat-syarat teknis ini wajib menjadi tolak ukur sebagai acuan untuk menyusun Prolegnas yang diprioritaskan.

“Kami menggunakan metode simplifikasi yakni kuat urgensi dan berlandaskan ideologi Pancasila,” katanya.

Sehingga, lanjut Enny, sejumlah RUU yang tidak layak jadi materi UU, tidak dipaksakan untuk menjadi UU. Materi tersebut bisa menjadi Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres) ataupun Peraturan Menteri (Permen). “Ini membutuhkan kesiapan kementerian sebagai mitra DPR dan pemrakarsa, supaya tidak banyak UU yang di-judicial review,” katanya.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Ronald Rofiandri, menilai cara pandang pemerintah dan DPR dalam menyusun Prolegnas harus berubah. Menurutnya, penyusunan Prolegnas tak harus berdasar pada kuantitas, tapi lebih berkualitas. Hal ini diperlukan untuk mencegah kompleksitas baru seperti potensi ketidakharmonisan, tumpang tindih peraturan maupun beban secara sosial, politik, dan ekonomi.

“Penilaian terhadap kualitas suatu UU, termasuk dalam hal ini keberhasilan UU itu sendiri menjadi jawaban bagi persoalan masyarakat, harus lebih dikedepankan,” katanya.

Terkait dengan RUU yang menjadi prioritas, PSHK menyebut sejumlah RUU, seperti paket RUU yang bersifat pembaruan dan penyesuaian seperti RUU KUHAP, RUU KUHP, dan RUU Perkumpulan. Selain itu, adalah perlu ditinjau ulang keberadaan UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3).

“Usulan untuk merevisinya kembali tidak boleh berhenti dan dikunci oleh kepentingan mengakhiri kisruh DPR semata. Tindak lanjut putusan MK tentang fungsi dan relasi legislasi DPD dengan DPR dan Pemerintah adalah salah satu kebutuhan yang perlu ditempatkan dalam UU MD3 yang baru,” tutup Ronald.
Tags:

Berita Terkait