Pendidikan Sektor “Ter-pungli”, Aplikasi Android Jadi Pilihan Solusi
Sikat Pungli:

Pendidikan Sektor “Ter-pungli”, Aplikasi Android Jadi Pilihan Solusi

Aplikasi JAGA akan diluncurkan di hari antikorupsi internasional oleh Presiden.

NOV
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 jelas meletakkan pendidikan sebagai hak konstitusi bagi setiap warga negara Indonesia. Bahkan, Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 dalam amandemen keempat mengatur bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Penyelenggaraan pendidikan ini diejawantahkan dalam UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di mana, Pasal 34 ayat (2) UU No.20 Tahun 2003 mengamanatkan, pemerintah pusat dan daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.

Di setiap era pun, pemerintah mencanangkan berbagai program wajib belajar. Mulai dari wajib belajar enam tahun, sembilan tahun, sampai program rintisan wajib belajar 12 tahun di era Presiden Joko Widodo. Tak pelak program wajib belajar 12 tahun ini masuk dalam program Prioritas Pembangunan Nasional.

Namun, fakta berkata lain. Komisioner Ombudsman RI Adrianus Meliala mengatakan, sesuai data Ombudsman, sektor pendidikan merupakan sektor “ter-pungli” atau paling banyak pungutan liar. Tak tanggung-tanggung, jumlahnya 45 persen dari total 434 laporan maladministrasi terindikasi pungli yang masuk ke Ombudsman pada 2016.

“Pendidikan dasar dan menengah. Ada di fase Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), fase kelengkapan fasilitas, dan pembelajaran. Kita tidak hanya ngomong di Jakarta. Kalau di Jakarta mungkin sudah jutaan, tapi di sana-sana (daerah) itu levelnya masih pungli ratusan ribu,” katanya saat ditemui hukumonline di kantornya.
Adrianus menjelaskan, pungli di sektor pendidikan ditemukan di setiap fase. Bentuknya bermacam-macam. Mulai dari pungli saat penerimaan peserta didik baru, pungli dalam rangka seragam, buku pelajaran, topi, hingga kegiatan-kegiatan sekolah, seperti kegiatan camping, dan sebagainya. “Itu pungutan semua,” imbuhnya.

Malahan, “buah” dari hasil temuan Ombudsman yang diteruskan ke inspektorat pemerintah daerah itu, sudah ada beberapa oknum kepala sekolah yang diberi sanksi. Berdasarkan data Ombudsman, pungli-pungli di berbagai sektor itu mayoritas ditemukan di wilayah yang menjadi otoritas pemerintah daerah, yaitu sebesar 53 persen.

Adrianus mencontohkan, di Jawa Barat sudah ada kepala sekolah yang dicopot karena terbukti melakukan pungli atau menerima duit. “Itu semua karena‘blusukan’saja, rekam sana, rekam sini. Kasih ke Menterinya, Kanwilnya. (Masih)Tidakmau berubah juga, yakitakasih ke pihak-pihakyang bisamengeksekusi,” ujarnya.

Benar saja, sebagaimana dikutip dari kantor berita Antara, Wali Kota Bandung, Jawa Barat, M Ridwan Kamil pada 20 Oktober 2016 lalu, mengumumkan penjatuhan sanksi terhadap sembilan kepala Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang terbukti menerima gratifikasi dan melakukan pungli.

Kesembilan kepala sekolah yang dipecat tersebut meliputi Kepala Sekolah SDN Sabang, SDN Banjarsari, SDN Cijagra 1 dan 2, SMPN 2, SMPN 5, SMPN 6, SMPN 7, SMPN 13, dan SMPN 44 Kota Bandung. Kesembilan kepala sekolah ini terbukti melakukan pelanggaran keras dan diberhentikan dengan tidak hormat.

Selain itu, sebanyak lima kepala sekolah tingkat SD, yakni Kepala Sekolah SDN Soka, SDN Bina Harapan 1 dan 2, SDN Centeh, SDN Halimun, dan SDN Nilem, diberikan sanksi skorsing selama tiga bulan dari jabatannya dan penundaan kenaikan jabatan. Pelanggaran hingga pungli tersebut terjadi saat PPDB pada Juni 2016.

Terkait dengan pungli di sektor pendidikan ini, sebenarnya sudah tegas dilarang dalam Peraturan Mendikbud No.44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan pada Satuan Pendidikan Dasar. Pasal 9 ayat (1) mengatur, satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan pemerintah dilarang memungut biaya satuan pendidikan.

Adapun pungutan yang diatur Pasal 11, antara lain tidak boleh dikaitkan dengan persyaratan akademik penerimaan, penilaian hasil belajar, kelulusan peserta didik, dan/atau digunakan untuk kesejahteraan anggota komite sekolah atau lembaga representasi pemangku kepentingan satuan pendidikan baik langsung maupun tidak langsung.

Hukumonline.com

Menanggapi hasil temuan Ombudsman, Inspektur Jenderal Kemendikbud Daryanto mengatakan, angka 45 persen itu berada dalam kewenangan Pemerintah Daerah (Pemda). Pasalnya, pengelolaan sekolah-sekolah dan guru-guru SD dan SMP ada di Dinas Pendidikan Pemerintah Kabupaten/Kota. Khusus untuk SMA, ada di Pemerintah Provinsi.

“Tentu ini yang menyelesaikan Pemkab/Kota juga kan. Nah, itu salurannya ke Pemda setempat. Kami di Kemendikbud mendorong supaya proses penyelesaian kasus pungutan-pungutan seperti itu disegerakan. Kalau perlu diambil sanksi bila terbukti. Penjatuhan sanksi berbagai macam, tergantung berat ringan pelanggarannya,” terangnya.

Sama halnya jika pengaduan itu diterima oleh Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemendikbud. Daryanto menjelaskan, pengaduan-pengaduan semacam itu akan disaring dahulu sesuai daerahnya. Kemudian, Itjen akan menyalurkannya kepada Dinas Pendidikan setempat dan ditembuskan kepada Inspektorat Kabupaten/Kota.

Mengenai titik rawan pungli di sektor pendidikan, Daryanto menengarai, umumnya terjadi ketika PPDB. Sebab, di saat itulah sekolah memungut biaya dari peserta didik baru maupun pindahan. Meski tidak mengetahui persis berapa besaran pungli yang dimintakan sekolah, ia mensinyalir jumlahnya bervariasi.

Namun, terlepas dari upaya penindakan terhadap oknum pungli, Daryanto berpendapat, masalah pungli tidak akan tuntas dengan cara terus-menerus “mengobati”, tetapi harus dilakukan dengan pencegahan. Oleh karena itu, Kemendikbud telah berkerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (Baca Juga: Aplikasi LAPOR! Bila Anda Temui Pungli Oknum PNS)

“Nah, kemarin, saya banyak dibantu oleh KPK, membuat suatu aplikasi namanya aplikasi JAGA. Jadi, nanti itu bisa diakses (diunduh) di android. Tapi, ini baru soft launching, belum launching benar. Launching-nya nanti tanggal 9 Desember (2016) saat hari antikorupsi internasional. Itu nanti insya Allah akan diresmikan oleh Pak Presiden,” tuturnya.

Nantinya aplikasi “JAGA” ini akan memberikan ruang bagi masyarakat untuk turut mengawasi praktik-praktik menyimpang dan pungli. Menurut Daryanto, kelebihan dari aplikasi JAGA, yaitu tidak sekadar memberikan ruang untuk pelaporan hal-hal negatif, tetapi juga untuk memberikan masukan positif bagi sekolah-sekolah.

Bentuk pencegahan kedua adalah dengan menggunakan kekuatan dari Komite Sekolah. Daryanto mengungkapkan, Komite Sekolah dibentuk untuk tujuan positif, seperti menjembatani sekolah yang kekurangan fasilitas. Dari situ, orang tua murid dapat dikumpulkan untuk membantu atau memberikan sumbangan.

Akan tetapi, Daryanto menegaskan, sumbangan dimaksud bukanlah pungutan, karena harus dibicarakan secara musyawarah mufakat. Agar tidak ada sumbangan yang dimain-mainkan atau diambil untuk kepentingan oknum, hasil dari sumbangan itu harus dibuatkan laporan pertanggungjawabannya secara transparan dan akuntabel.

Selanjutnya, upaya pencegahan ketiga bisa dimulai dari masyarakat sendiri. Daryanto meminta masyarakat, khususnya para orang tua agar waspada dengan oknum yang menjanjikan bisa mengupayakan anaknya masuk sekolah tertentu dengan imbalan uang. Ia menyebutkan, oknum itu bisa berada di sekolah, dinas, maupun di masyarakat.

“Buat orang tua harus hati-hati, karena barangkali anaknya tuh memang betul-betul diterima bukan karena sogokan atau pungli. Ini kan gambling-nya oknum. Kalau tidak diterima, uangnya dibalikin saja. Apalagi sekarang kan sudah ada PPDB online. Tapi, (walau) dengan komputer, toh namanya kalau mau curang, bisa saja terjadi,” tandasnya.
Tags:

Berita Terkait