Pengadilan Dinilai Gagal Jadi Benteng Kebebasan Berekspresi atas Vonis Daniel Tangkilisan
Terbaru

Pengadilan Dinilai Gagal Jadi Benteng Kebebasan Berekspresi atas Vonis Daniel Tangkilisan

Elsam memberikan beberapa catatan.

Aida Mardatillah
Bacaan 5 Menit

“Penggunaan pasal ini juga semestinya tidak terlepas dari ketentuan Pasal 156 dan 157 KUHP yang salah satunya mensyaratkan unsur terhadap golongan-golongan penduduk Indonesia (tursen of tegen groepen der bevolking van Indonesia),” ujarnya.

Ia menjelaskan unsur ini memberikan penekanan adanya sifat pada tulisan atau gambar yang mengadu domba antar-golongan yang memiliki akibat terganggunya ketertiban sosial. Sementara yang dilakukan oleh Daniel Tangkilisan tidak dalam rangka mengadu domba, namun untuk mengkritik pencemaran lingkungan oleh pelaku industri tambak udang. Mengenai golongan sendiri, penjelasan unsur Pasal 156 KUHP menekankan bahwa golongan mencakup tiap-tiap bagian dari isi negara Indonesia, berdasarkan watak suku bangsa, agamanya, asalnya, keturunan, kebangsaannya, dan kedudukan dalam hukum tata negaranya, bukan masyarakat pada umumnya.

Tidak hanya itu, Wahyudi juga berpendapat hakim abai terhadap ketentuan Anti-SLAPP. Hakim menggunakan argumen Pasal 78 Peraturan Mahkamah Agung No. 1/2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup bahwa perjuangan untuk mewujudkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku, kecuali: a. tidak ada alternatif lain atau pilihan tindakan lain selain perbuatan yang telah dilakukan; dan b. perbuatan dilakukan dalam melindungi kepentingan hukum yang lebih besar atau kepentingan masyarakat luas.

Wahyudi mengatakan, Hakim melihat bahwa Daniel Tangkilisan tidak memanfaatkan alternatif lain selain ujarannya melalui media sosial. Menurut hakim, mengunggah komentar dengan kata-kata “otak udang” dan menyinggung tempat ibadah tidak terjadi dalam keadaan tidak ada alternatif lain.

Padahal, kata Wahyudi, Daniel Tangkilisan telah memperjuangkan lingkungan sejak lama, sebagaimana juga diakui oleh hakim dalam pertimbangannya, yang justru membuktikan bahwa upaya-upaya lain telah dilakukan oleh Daniel Tangkilisan selama ini. Selain itu, status Daniel Tangkilisan yang menyinggung pencemaran lingkungan akibat tambak udang adalah perbuatan yang dilakukan untuk melindungi kepentingan umum yang lebih besar terkait pelindungan lingkungan hidup.

Untuk itu, kata Wahyudi,  Elsam mendesak beberapa hal. Pertama, Komisi Yudisial (KY) segera memeriksa tiga hakim yang mengadili perkara Daniel Tangkilisan, terutama dikarenakan adanya kejanggalan sejak awal dalam memaksakan penggunaan pasal yang rumusannya sudah diubah, kekeliruan dalam penafsiran pasal ujaran kebencian, serta dugaan keterkaitan putusan ini dengan industri tambak udang yang mencemari lingkungan Karimunjawa.

Kedua, Pengadilan Tinggi Semarang harus mempertimbangkan kembali perubahan terhadap pasal-pasal yang didakwakan terhadap Daniel Tangkilisan, dengan secara seksama memeriksa ulang fakta-fakta persidangan (judex factie) dalam kasus tersebut.

Ketiga, Mahkamah Agung memberikan atensi serius pada penanganan perkara berdimensi teknologi informasi dan komunikasi, untuk memastikan kesesuaian penerapan hukum dalam setiap perkara yang ditangani, sehingga pengadilan tidak menjadi pintu gerbang bagi penghukuman terhadap kebebasan berekspresi.

Keempat, Mahkamah Agung perlu menyediakan panduan penanganan perkara berdimensi penggunaan teknologi informasi dan komunikasi, termasuk menyediakan bimbingan teknis bagi para hakim di semua tingkatan peradilan, khususnya dalam mengadili kasus-kasus yang berdimensi kebebasan berekspresi dan berpendapat, baik yang melalui medium daring (online) maupun luring (offline).

Tags:

Berita Terkait