Pengaturan Obstruction of Justice di RUU KUHP Dipuji
Berita

Pengaturan Obstruction of Justice di RUU KUHP Dipuji

Namun pasal itu masih perlu diperbaiki karena masih cenderung sebagai contempt of court.

CR19
Bacaan 2 Menit

Catatan Lain

Dalam kesempatan yang sama, ada sejumlah catatan yang diberikan Andhi selaku perwakilan dari Kejaksaan Agung. Dikatakan Andhi, RUU KUHP mesti menghindari ketentuan pidana yang berlebihan (overcriminalization). Sebab, jika dilihat dari jumlah pasal, antara KUHP yang sekarang berlaku dengan RUU KUHP memiliki selisih 217 pasal.

Jumlah pasal dalam KUHP berjumlah 569 pasal, sedangkan jumlah pasal dalam RUU KUHP berjumlah 786 pasal. Ia khawatir, selisih jumlah pasal tersebut akan diartikan oleh masyarakat sebagai suatu kriminalisasi. Padahal, istilah kriminalisasi seringkali tidak tepat dimaknai oleh masyarakat.

“Padahal sesuai dengan teori hukum apa yang disebut dengan kriminaliasai adalah ketika suatu perbuatan yang tadinya bukan merupakan tindak pidana kemudian diatur menjadi tindak pidana, inilah yang disebut kriminalisasi menurut pemahaman saya. Dari itu, 569 pasal, ada selisih 217 Pasal. Apakah ini berarti mengandung kriminalisasi? Perlu juga dicermati kemudian,” paparnya.

Catatan lainnya, menurut Andhi, ada pasal-pasal yang perlu dipersingkat. Misalnya dalam Bab V tentang pengertian istilah, terlalu banyak pasal yang mengatur tentang pengertian-pengertian. “Itu ada 53 pasal sendiri. Apakah pengertian ini dalam ketentuan umum dapat dipersingkat?” sebutnya.

Selain itu, sejumlah pasal dalam RUU KUHP masih mencampuradukkan dengan hukum acara pidana. Seperti, Pasal 58 RUU KUHP tentang perubahan atau penyesuaian pidana, lalu Pasal 84 RUU KUHP tentang pelaksanaan pidana denda, dan yang terakhir Pasal 90 RUU KUHP tentang pidana mati.

“Apakah ini merupakan hukum pidana materil atau merupakan hukum acara pidana? Itu masih banyak pasal-pasal yang saya pandang itu merupakan hukum acara pidana,” katanya.

Mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan berharap agar RUU KUHP juga bisa menjelma menjadi hukum acara. Selama ini, kaidah antara KUHP dengan KUHAP seringkali tidak berjalan secara bersamaan. Misalnya, konsep pemiskinan terhadap terpidana. Terkait hal ini muncul pertanyaan darinya apakah konsep itu tidak bertentangan dengan HAM karena yang terkena dampak pemiskinan adalah istri serta anak-anak dari terpidana.

Sehingga, Bagir berharap dalam RUU KUHP ini kontroversi antara pelaksanaan hukum materiil dan hukum acara tidak muncul kembali. Menurutnya, penyusun RUU KUHP, mesti konsisten dengan cara penegakan yang paralel dengan aspek hukum materiil yang diatur dalam RUU KUHP. “Ini pekerjaan yang tidak mudah,” tandasnya. 

Tags:

Berita Terkait