Penjatuhan Sanksi Etik, Akademisi UI Sebut DKPP Kalah Taji Ketimbang MKMK
Melek Pemilu 2024

Penjatuhan Sanksi Etik, Akademisi UI Sebut DKPP Kalah Taji Ketimbang MKMK

Sanksi etik yang dijatuhkan DKPP berupa peringatan keras terakhir kepada komisioner KPU sifatnya tidak akumulatif sehingga tidak berdampak. Sementara sanksi etik yang dijatuhkan MKMK langsung berdampak pada hakim konstitusi.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Draf perubahan peraturan KPU 19/2023 dikonsultasikan ke DPR sepekan setelah putusan MK dan dilanjutkan harmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Berita acara pendaftaran calon diterbitkan KPU 27 Oktober 2023, padahal semua proses pendaftaran selesai 25 Oktober 2023. DKPP dalam putusannya berpendapat berita acara harusnya terbit pada hari yang sama setelah proses pendaftaran dinyatakan selesai.

Akibat tindakan itu DKPP menyatakan komisioner KPU RI melanggar kode etik penyelenggara pemilu terkait integritas dan profesionalitas. Menurut Titi integritas terkait soal pemilu jujur dan adil, mandiri, akuntabel, dan profesional, berkepastian hukum, dan lainnya. Soal profesionalitas terkait adanya tindakan yang tidak berkepastian hukum dan tidak tertib karena melaksanakan putusan MK tidak responsif.

“DKPP kalah taji dengan MKMK,” ujar Titi dalam diskusi bertema ‘Mengantisipasi Potensi Kecurangan Pemilu 2024’, Selasa (7/2/2024) kemarin.

Titi yang dosen bidang Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) itu mencatat ini bukan kali pertama Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari dijatuhi sanksi peringatan keras. Sanksi peringatan keras pertama diterima Hasyim yakni April 2023 dalam kasus Hasnaeni. Kemudian Oktober 2023, sanksi serupa dijatuhkan kepada Hasyim untuk kasus soal pengaturan keterwakilan perempuan yang menyalahi aturan. Sanksi keras terakhir diterima Februari 2024 soal tindak lanjut putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 yang tidak responsif.

Menurut Titi sanksi yang dijatuhkan DKPP sifatnya tidak akumulatif sehingga menimbulkan blunder dalam penegakan etik pemilu. Padahal umumnya efek jera baru muncul ketika sanksi berdampak pada jabatan dan otoritas kewenangan. Dia khawatir bakal terjadi pelanggaran berulang, karena sanksinya tidak bersifat akumulatif.

“Jadi ketika terbukti melakukan pelanggaran dikenakan sanksi, dan begitu terus,” ucapnya.

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya, Prof Muchamad Ali Safa’at, mengatakan sebab putusan etik tidak berdampak terhadap persoalan hukum yang terkait karena selama ini dalam konsep hukum keduanya memang dipisahkan. Misalnya, putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 sekalipun MKMK memutus prosesnya ada pelanggaran etik, tapi putusan MKMK tidak memutus persoalan hukum dalam putusan MK tersebut.

Hal serupa juga sama seperti putusan DKPP yang menjatuhkan sanksi etik kepada komisioner KPU karena tidak responsif mengubah Peraturan KPU untuk menindaklanjuti putusan MK No.90/PUU-XXI/2023. Sementara tindakan KPU yang menerima pencalonan Cawapres dengan melanggar etika tetap memiliki kekuatan hukum.

Sama seperti MKMK ketika memutus Anwar Usman melanggar etik dan mencopot jabatannya dari Ketua MK kemudian tidak membatalkan putusan MK No.90/PUU-XXI/2023. Pembatalan putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 itu hanya bisa dilakukan melalui pengajuan permohonan baru.

“Ini konsekuensi cara berpikir orang hukum yang kerap melepaskan etika, sehingga etika dikalahkan keputusan hukum,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait