Perbankan Diminta Prudent Berikan Kredit Perkebunan
Utama

Perbankan Diminta Prudent Berikan Kredit Perkebunan

Terlebih pada perkebunan yang dibangun di atas lahan gambut.

FAT
Bacaan 2 Menit
Foto: fwi.or.id
Foto: fwi.or.id
Maraknya kebakaran di lahan gambut membuat pemerintah mengeluarkan moratorium lahan gambut. Menurut Asisten Deputi Pengendalian Kerusakan Ekosistem Darat Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Hermono Sigit, moratorium lahan gambut tersebut bertujuan untuk menahan laju kerusakan dan penurunan fungsi ekosistem gambut.

“Salah satu penyebab laju kerusakan maupun kebakaran di lahan gambut dipicu oleh investasi di bidang perkebunan, seperti kelapa sawit,” kata Hermono di Jakarta, Selasa (3/6).

Ia mengatakan, tingginya kebutuhan pasar menyebabkan permintaan produksi kelapa sawit semakin besar. Kebutuhan yang besar ini memicu perluasan kebun kelapa sawit secara besar-besaran di Indonesia, termasuk di dalamnya konversi hutan rawa gambut yang berubah menjadi hutan tanaman industri dan perkebunan kelapa sawit.

Hermono menilai, kelapa sawit dan akasia bukan merupakan tanaman yang dapat beradaptasi di lahan gambut. Alasannya karena lahan gambut merupakan lahan yang bersifat rapuh dan topografi lantai dasar lahan ini berupa cekungan yang berisi timbunan sampah organik dari berbagai tumbuhan yang berusia ribuan tahun.

Menurutnya, seluruh stakeholder, baik dari pengusaha, perbankan hingga masyarakat perlu menjaga kelestarian lahan gambut. Salah satu caranya, melalui menghitung nilai manfaat dan risiko lingkungan terhadap investasi yang akan ditanamkan.

“Untuk melindungi lingkungan dari kerusakan sekaligus mengakomodir kepentingan green customer, salah satunya adalah penghitungan nilai manfaat dan risiko lingkungan terhadap investasi yang ditanamkan,” katanya.

Ia berharap, pihak perbankan dapat berperan aktif dalam menyelamatkan lahan gambut di Indonesia. Salah satunya dengan mempertimbangkan secara hati-hati (prudent) dalam pemberian kredit untuk investasi di sektor lingkungan (green banking). Hal ini sesuai dengan Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2013 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut (moratorium).

Indonesia Smallholders Affairs and Technical Manager The Roundtable for Sustainable Palm Oil (RSPO) Indonesia, Asril Darussamin, mengatakan, selama Inpres moratorium belum dicabut, maka tak boleh lagi ada pembukaan investasi perkebunan baru di lahan gambut. Hal ini sejalan dengan Prinsip 2 RSPO yang merupakan panduan untuk produksi minyak sawit berkelanjutan, yakni memenuhi hukum dan peraturan yang berlaku.

“Indonesia memiliki lahan gambut yang sangat luas, tapi tidak dapat digunakan sebagai lahan perkebunan sepanjang moratorium belum dicabut,” katanya.

Direktur Wetlands International-Indonesia, Nyoman Suryadiputra, mengatakan usaha perkebunan kelapa sawit dan akasia di lahan gambut memiliki tantangan lingkungan tersendiri. Atas dasar itu, sebelum mengucurkan kreditnya, perbankan perlu bersikap hati-hati terhadap pengajuan kredit untuk perkebunan.

“Misalnya, perlu verifikasi lapangan terhadap hasil kajian studi Amdal terutama isu penting seperti lokasi calon perkebunan apakah tidak bertentangan dengan berbagai peraturan pemerintah,” tuturnya.

Ia berharap, sikap obyektif dapat dilakukan perbankan sebelum mengucurkan dana pinjaman. Terlebih lagi, perkebunan kelapa sawit dan akasia tidak cocok jika ditanam di atas lahan gambut. Hal ini dikarenakan rapuhnya lahan gambut yang bisa memicu timbulnya banjir lantaran semakin lama menyusutnya lahan tersebut.

“Jangan hanya berpikir mereka (pengusaha, red) terus menghasilkan jika perbankan berikan kucuran dana. Karena ada ancaman banjir terhadap lahan gambut,” kata Nyoman.

Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Joko Supriyono, mengatakan, permintaan kebutuhan minyak sawit di dunia terus bertambah tiap tahunnya. Hal ini perlu dilihat sebagai kesempatan Indonesia untuk menambah ekspansi di sektor sawit. “Harusnya demand tersebut bisa dipenuhi dengan menambah satu juta hektar sawit per tahun,” katanya.

Ia mengatakan, keberadaan Inpres moratorium merupakan semangat untuk menata ulang tata ruang hutan primer dan lahan gambut di Indonesia. Atas dasar itu, harus ada perencanaan yang tepat dan matang dari pemerintah dalam hal menata ruang tersebut. “Ini harus lintas kementerian,” katanya.

Sebelumnya, Wakil Direktur Utama BNI Felia Salim menyambut baik konsep green banking ini. Meski begitu, penerapan aturan green banking ini tak semudah yang dikira, terlebih lagi kepada debitur besar. Walaupun debitur tersebut memiliki catatan buruk di lingkungan hidup, namun di sisi lain memiliki catatan baik di lingkungan masyarakat seperti memberikan pekerjaan layak bagi banyak orang.

“Kita bicarakan ini baik-baik. Makanya selain lingkungan hidup, kita juga perhatikan lingkungan sosial dan masyarakatnya. Saya mesti realistis. Kita biayai tapi berkolaborasi sambil jalan,” tutup Felia.
Tags:

Berita Terkait