Perkara RAPP dalam Himpitan Rezim Hukum Kehutanan dan Upaya Restorasi Gambut
Berita

Perkara RAPP dalam Himpitan Rezim Hukum Kehutanan dan Upaya Restorasi Gambut

Ada himpitan kewenangan antara Badan Restorasi Gambut dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam program pelaksanaan restorasi gambut.

CR-20
Bacaan 2 Menit
Menurut Pakar Hukum Administrasi Lingkungan Universitas Parahyangan, Asep Warlan Yusuf kepada Hukumonline pada Selasa (13/9), “Lokasi fisik lahan gambut itu bisa berada di atas tanah Negara, tanah masyarakat, dan tanah yang dikelola oleh swasta. Artinya lahan yang dikelola swasta tidak bisa dikecualikan dari pelaksanaan fungsi lindung dan kepentingan perlindungan ekosistem.”Asep Warlan menjelaskan bahwa selain aspek fisik, terdapat empat aspek lain yang mesti dilihat dalam melakukan restorasi lahan gambut. “Perlu dipertimbangkan juga aspek sumber daya ekonominya, yakni pembebanan terhadap perusahaan juga disertai dengan insentif. Jadi pengelolaan secara berkelanjutan di atas lahan gambut itu juga dianggap menguntungkan bagi perusahaan.”“Selain itu, perlu juga diperhatikan hak-hak masyarakat. Masyarakat memiliki hak untuk dilibatkan, karena bencana dari kerusakan ekosistem gambut akan langsung berdampak pada masyarakat,” kata Asep. Kegiatan usaha di atas lahan gambut juga mengharuskan adanya izin kegiatan dan pemanfaatannya, yang dikeluarkan oleh lembaga sektoral terkait.Namun masalah terbesar dari sisi hukum administrasi dalam pelaksanaan restorasi gambut menurut Asep Warlan adalah permasalahan tumpang tindih kewenangan. “Kewenangan ini dimiliki oleh beberapa lembaga Negara, yakni BRG, KLHK dan pemerintah daerah yang turut menerbitkan izin usaha dan izin lingkungannya. Harus dipastikan dalam setiap kasus, kewenangan itu ada dimana, siapa yang berwenang sebagai pusat koordinasi. Permasalahan kewenangan ini penting untuk melihat siapa yang seharusnya bertugas mengawasi dan apakah penegakan hukumnya berjalan melalui penerapan sanksi yang tegas bagi siapapun pihak yang melanggarnya,” kata Asep.Menurut Asep, BRG tidak hanya berfungsi sebagai pemadam kebakaran, tetapi juga bertugas untuk mendesain perencanaan restorasi gambut yang bertanggung jawab kepada Presiden. “Rekomendasi BRG sifatnya mengikat dan wajib diikuti oleh KLHK dan Pemerintah Daerah yang mengeluarkan izinnya. Atas rekomendasi dari BRG, Presiden dan Kementerian terkait dapat memberikan sanksi kepada Pemda. Namun terhadap Kementerian terkait yang mengabaikan rekomendasi dari BRG, tidak bisa diterapkan sanksi. Tetapi BRG bisa memberikan laporannya kepada Presiden, untuk kemudian menerapkan sanksi berupa teguran tertulis atau bisa dengan memainkan skema anggaran dari Kementerian yang bersangkutan,” terang Asep.Yang perlu diperbaiki antara kewenangan yang dimiliki BRG dengan kewenangan penegakkan hukum yang dimiliki oleh KLHK (untuk penegakkan hukum administratif dan aspek hukum perdata) serta Kepolisian dan Kejaksaan (untuk penegakkan hukum pidana)  adalah koordinasi. Menurut Asep, “Koordinasi ini berupa koordinasi struktural yakni dengan instruksi langsung dari Presiden, koordinasi fungsional yang mengembalikan lagi kepada fungsi masing-masing lembaga, dan koordinasi yang sifatnya teknis dengan membuka kanal informasi antar lembaga.”Terhadap kasus PT. RAPP, langkah selanjutnya yang akan ditempuh oleh BRG adalah dengan menerjunkan kembali tim teknis dan tim sosial. “Tim teknis akan memverifikasi apakah yang dilakukan itu benar untuk sekat bakar atau untuk membuat kanal-kanal atau saluran drainase. Yang kedua, Tim teknis juga akan memverifikasi kedalaman gambutnya. Selain itu juga akan diterjunkan tim sosial untuk melihat overlapping klaimnya. Karena ada wilayah yang masih berkonflik,” kata Myrna.


Tags: