Perlunya Culture Responsif di OJK
Berita

Perlunya Culture Responsif di OJK

Agar tuntutan masyarakat terkait sektor jasa keuangan dapat diatasi dengan baik.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Perlunya Culture Responsif di OJK
Hukumonline

Sebagai lembaga baru, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memerlukan berbagai pembenahan. Ditengarai akan timbul tantangan yang harus dilewati OJK dalam proses pembenahan tersebut. Salah satu tantangan otoritas ke depan adalah pembangunan culture organisasi baru yang mengedepankan fungsi responsif terhadap tuntutan masyarakat.

"Ini sedang dibangun, tentu saja ada keperluan-keperluan tambahan. Ini bukan tantangan kecil, diperlukan kesolidan internal," ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman Hadad saat membuka acara seminar bertema 'Eksistensi dan Tantangan OJK Dalam Menata Industri Jasa Keuangan Untuk Pembangunan Ekonomi' di Jakarta, Selasa (24/4).

Menurutnya, sebagai lembaga yang mengawasi seluruh sektor jasa keuangan, OJK memiliki tanggung jawab besar dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Pelaksanaan tanggung jawab ini tak bisa dilakukan OJK sendiri. Tapi, diperlukan koordinasi dan kerjasama yang efektif dengan lembaga lain, baik lembaga yang bergerak di jasa keuangan maupun lembaga lain seperti aparat penegak hukum.

Muliaman mengatakan, internal yang solid diperlukan lantaran OJK akan memperoleh dukungan sumber daya manusia baik dari Bank Indonesia (BI) maupun Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Rencananya, pegawai BI yang bertugas sebagai pengawas akan bergabung ke OJK sebanyak 1500 orang. Sedangkan pegawai dari Kemenkeu bergabung sekitar 1000 orang, di mana mayoritas sudah melebur dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK) sebelumnya.

Selain dari sisi sumber daya manusia, mulai 1 Januari 2014, OJK akan memperoleh dukungan berupa kantor cabang di seluruh Indonesia. Untuk sementara, kata Muliaman, kantor-kantor cabang OJK di seluruh wilayah Indonesia berada di kantor BI. "Jadi tahap pertama OJK masih numpang dengan BI. Idealnya punya gedung sendiri, sedang dalam proses diskusi dan sebagainya, mudah-mudahan pada waktunya OJK punya gedung sendiri," katanya.

Komisaris BRI Mustafa Abu Bakar mengatakan, koordinasi antara OJK dengan lembaga lain penting terlebih dalam masa transisi. Menurutnya, dalam masa transisi tak tertutup kemungkinan potensi konflik atau grey area akan muncul. Untuk menghindari hal itu, komunikasi dan koordinasi dengan lembaga lain menjadi salah satu tugas OJK yang diterapkan.

"Perlu juga kebersamaan, semuanya mengurus kepentingan negara dan kepentingan masyarakat. Kalau tidak tercapai kesepakatan, perlu ada win-win solution," tutur Mustafa.

Tags:

Berita Terkait