PN Meulaboh Anulir Putusan MA, Simak Tanggapan KPK, KY dan KLHK
Berita

PN Meulaboh Anulir Putusan MA, Simak Tanggapan KPK, KY dan KLHK

Dalam kasus ini KPK tidak hanya menyorot soal kualitas hakim, melainkan soal kualitas front liner yang harus juga diperbaiki.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Foto: HMQ
Foto: HMQ

Tepat pada Kamis 12 April 2018 lalu, PN Meulaboh menjatuhkan sebuah putusan yang kontroversial terhadap PT Kallista Alam. Pasalnya, alih-alih melakukan eksekusi atas Putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) yang sudah berkekuatan hukum tetap, PN Meulaboh justru menganulir putusan MA tersebut dengan menyatakan Putusan Mahkamah Agung No. 1 PK/PDT/2017 tanggal 18 April 2017 tidak mempunyai titel eksekutorial terhadap PT. Kallista Alam.

 

Sebelumnya, PT Kallista Alam yang membakar sekitar 1000 hektar hutan yang berada di Kawasan Ekosistem Leuser pada 2012 lalu, telah diperintahkan oleh Pengadilan Negeri Meulaboh pada putusan tingkat pertama (Putusan No. 12/PDT.G/2012/ PN. MBO) untuk membayar denda dengan total 365 milyar dengan rincian berupa ganti kerugian materiil ke kas negara sebesar 114 Milyar serta dihukum denda tambahan sebesar 251 milyar untuk pemulihan lingkungan.

 

Tidak terima dengan putusan tersebut, PT. Kallista Alam mengajukan upaya hukum kasasi (No. 651 K/Pdt/2015) hingga upaya hukum Peninjauan Kembali (No. 1/PK/Pdt/2017), namun baik Kasasi maupun PK yang dilakukan PT Kallista Alam ditolak. Alih-alih membayar denda yang sudah ditetapkan, PT Kallista Alam malah menggugat balik Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) pada tanggal 26 Juli lalu yang dikabulkan oleh PN Meulaboh bahkan dengan amar menganulir putusan MA.

 

Dirjen Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani menyebut terjadinya peristiwa ini salah satunya diakibatkan karena proses eksekusi oleh PN Meulaboh yang lamban. Terkait kasus ini, kata Ridho, pihaknya telah mengirimkan surat ke Badan Pengawas MA termasuk Ketua MA, di samping itu juga bersurat kepada Komisi Yudisial (KY). Ini sudah tahap akhir sebenarnya, sambung Ridho, kita sudah siap untuk melakukan proses eksekusi, namun karena proses eksekusi ini begitu lambat dilakukan PN Meulaboh akhirnya pihak Kallista Alam mengajukan gugatan balik.

 

Tidak hanya kasus PT. Kallista Alam, kata Ridho, ada kasus lain yang juga sedang menunggu eksekusi dengan ganti rugi sebesar Rp16,2 triliun dari PN Pekanbaru. Untuk menghindari terjadinya kejadian yang sama dengan kasus Kallista Alam, pihak KLH bahkan berkoordinasi langsung dengan Ketua PN Pekan Baru.

 

“Kami tidak mau mengulang terjadinya kasus serupa dengan PT. Kallista Alam, cukup sekali terjadi dan akan tetap kami lakukan perlawanan. Jangan sampai kasus-kasus seperti ini terhenti karena persoalan di pengadilan itu sendiri,” tukas Ridho dalam diskusi publik Senin, (4/5).

 

Wakil Ketua Komisi Yudisial, Sukma Violetta, menyebut pihaknya masih dalam proses pengkajian internal terhadap kasus ini. Tapi ada beberapa kemungkinan yang terjadi dalam kasus Kallista Alam, kata Sukma, di antaranya keliru menerapkan undang-undang dan pasal, keliru menafsirkan pasal termasuk juga indikasi keliru dalam memahami fakta.

 

(Baca Juga: Kebakaran Hutan ‘Sampai’ ke Ruang Pengadilan)

 

Keempat hal tersebut disebut Sukma berkaitan erat dengan kualitas putusan seorang hakim. Bahkan dalam beberapa kasus misalnya, kata Sukma, memang sering terjadi pertimbangan hukum hakim yang pemahamannya sangat jauh sekali dengan yang sudah diberikan dalam berbagai pelatihan.

 

“Bahkan dari 400 hingga 500 laporan yang diperiksa KY, menunjukkan bahwa kualitas putusan hakim meragukan, bahkan kami juga tidak yakin kenapa bisa ada hakim yang golongannya sudah 4D, 4E tapi membuat putusan dengan kualitas yang seperti ini,” tukas Sukma.

 

Untuk menjaga kualitas putusan hakim ini, kata Sukma, ada perbedaan yang signifikan terkait perlakuan yang dilakukan antara masa lalu, awal reformasi dan yang saat ini diterapkan. Di masa lalu masih dilakukan anotasi putusan oleh hakim senior (oleh hakim diatasnya), namun pada masa awal reformasi ketika UUD menyebut bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka, itu diartikan bahwa anotasi ini tidak lagi diperbolehkan, karena dianggap sebagai intervensi hakim senior terhadap hakim lainnya.

 

“Inilah mengapa saat ini nasib anotasi putusan menjadi silent,”papar Sukma.

 

Sayangnya, kata Sukma, sekitar 50% putusan KY terkait rendahnya kualitas putusan hakim ini seringkali tidak ditindak lanjuti oleh MA. Hal ini dikarenakan hal-hal yang terkait dengan teknis yudisial seperti keliru (legal error) dalam memberi pertimbangan hukum maupun amar putusan, upaya perbaikannya adalah melalui upaya hukum, bukan ranah pengawasan hakim.

 

(Baca Juga: 5 Putusan Pengadilan Terkait Kebakaran Lahan)

 

Persoalannya, ada gap yang sampai saat ini tidak terjembatani antara pendapat KY dengan MA, yakni terkait konteks unprofesional conduct. Unprofesional conduct atau perbuatan hakim tidak profesional ini seperti unvoeldende gemotiveerd (hakim kurang memberi pertimbangan) atau pertimbangan yang diberikan tidak sesuai dengan asas peradilan cepat dan berbiaya ringan.

 

“MA menganggap Unprofesional Conduct ini tidak termasuk ranah pengawasan oleh KY karena berbenturan dengan konteks teknis yudisial, sedangkan menurut kami (KY) tidak demikian,” jelas Sukma saat dimintai keterangan oleh hukumonline, Senin, (4/5).

 

Hanya saja, sambung Sukma, untuk konteks kasus PT Kallista Alam masih belum dapat dipastikan disebabkan oleh unprofessional conduct. Saat ini KY masih dalam proses analisis terkait keterangan dari pelapor, saksi-saksi dan sebagainya. Jadi menurut Sukma belum tentu disebabkan unprofessional conduct. Bisa jadi, sambung Sukma, ada hal lain yang sifatnya tidak kontensius sehingga bisa diterima oleh semua pihak baik KY maupun MA. Misalnya, kata Sukma, terdapat indikasi keberpihakan hakim, itu akan dapat terlihat nanti lewat penelusuran terhadap fakta.

 

Komisioner KPK, Laode M Syarif dalam kasus ini tidak hanya menyorot soal kualitas hakim, melainkan soal kualitas front liner yang harus juga diperbaiki. Jadi, kata Laode jangan salahkan semuanya dari sistem pengadilannya atau aspek hakim saja, tapi bagaimana dari Penyidik PNS (PPNS), polisi atau jaksa juga harus diperhatikan. Justru menurut Laode, jika kekeliruan terletak pada hakim akan jauh lebih mudah dideteksi ketimbang kekeliruan yang dilakukan oleh frontliner ini.

 

“Hakim itu dalam satu majelis paling banyak cuman 5 orang, dia melakukan apa akan mudah dideteksi dan kalau hakimnya aneh-aneh bisa lihat aja putusannya. Lain dengan front liner ini, kalau ada kasus dia investigasi, dia SP3 dan sebagainya, itu prosesnya ga ada yang tau,” ungkap Laode.

 

Yang saat ini menjadi pertanyaan besar, kata Laode, mengapa sudah diputus oleh hakim dengan denda yang besar tapi malah kita tidak bisa mengeksekusi. Di sini saja, lanjut Laode, sudah bisa terlihat apakah frontliner ini betul-betul mampu mengeksekusi atau tidak? Misalnya dalam konteks KPK, kata Laode, jika kita denda Setya Novanto, kita sudah cari asetnya di mana-mana dan kalau ketemu langsung kita freeze.

 

Tags:

Berita Terkait