Polemik Putusan dan Pencabutan PKPU PT PP, Sudahkah Sesuai Aturan?
Utama

Polemik Putusan dan Pencabutan PKPU PT PP, Sudahkah Sesuai Aturan?

Permohonan pencabutan PKPU PP didasarkan pada desakan kreditur. Namun proses pencabutan tersebut dinilai tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 5 Menit

“Ini memang putusannya sudah aneh, pencabutannya juga aneh. Tapi sekali lagi ini areanya pengadilan, kita harus menghormati, andai saja ada hal-hal yang keliru kita pasti menyampaikan. Tapi mudah-mudahan ada pertimbangan lain pengadilan mengabulkan hal ini tanpa adanya kreditur. Apakah semata-mata kebaikan pada umumnya, kepentingan publik, kita tidak tahu. Kita husnudzon bahwa pengadilan melihat ada kepentingan yang lebih besar yang harus dijaga, sehingga harus mengabulkan meskipun menyimpangi tentang kreditur atau mungkin majelis menganggap pemohon ini cukup menjadi kreditur, yang menurut kami itu salah,” ujarnya.  

Menyorot hakim

Di sisi lain, kurator senior James Purba tidak begitu menyoroti pasal pencabutan PKPU PT PP. Sebaliknya, James cenderung melihat putusan majelis hakim yang menerima permohonan PKPU tersebut. Menurut James, permohonan PKPU dan pailit diatur dalam Pasal 3 UU 37/2004. Pasal tersebut mengatur permohonan PKPU dan pailit didasarkan pada domisili perusahaan yang dapat di cek melalui akta perusahaan. Jika domisili perusahaan berada  di Jakarta, maka Pengadilan Niaga Jakarta yang seharusnya berwenang mengadili dan memutuskan.

Dalam kasus PKPU PP, lanjut James, majelis hakim mempertimbangkan perjanjian kedua belah pihak yang memilih PN Makassar jika terjadi dispute. Perjanjian itu pula yang didasarkan oleh kreditur untuk mengajukan PKPU kepada PT PP, karena secara kebetulan Pengadilan Niaga tersedia di Makassar. Namun seharusnya permohonan PKPU merujuk pada UU Kepailitan bukanlah kontrak atau perjanjian, mengingat UU Kepailitan bersifat lex specialis.

“Yang saya tahu pertimbangan majelis hakim adalah dalam perjanjian kedua belah pihak, mereka sepakat memilih domisili hukum di Makassar, perjanjian itu wajib dihormati dan mengikat sebagai UU, itu asas. Nah, karena kebetulan di Makassar ada Pengadilan Niaga, mereka masuk pengadilan niaga juga, perkara PKPU. Tapi ingat, UU Kepailitan itu lex specialis. Bagi saya pasal pencabutan tidak terlalu krusial, saya justru menyoroti, kok hakim mau memutuskan PKPU itu?

Tags:

Berita Terkait