PPAT Persoalkan Aturan Penempatan Notaris
Berita

PPAT Persoalkan Aturan Penempatan Notaris

Permohon diminta menjelaskan pertentangan norma yang diuji.

ASH
Bacaan 2 Menit
PPAT Persoalkan Aturan Penempatan Notaris
Hukumonline
Majelis Panel MK menggelar sidang perdana pengujian sejumlah pasal dalam UU No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Uji materi ini diajukan seorang pejabat pembuat akta tanah (PPAT), Muhammad Thoha lantaran pernah mengalami penolakan oleh petugas Ditjen AHU Kemenkumham saat pengajuan penempatan dirinya sebagai notaris di daerah Bekasi Jawa Barat.

Thoha memohon pengujian Pasal 15 ayat (2) huruf f UU Jabatan Notaris lantaran keberatan notaris diberi kewenangan untuk membuat akta otentik yang berhubungan dengan pertanahan. Sedangkan Pasal 21 dan Pasal 22 ayat (3) UU Jabatan Notaris terkait kewenangan kebijakan Menkumham dalam formasi (penempatan) jabatan notaris.

“Saya menilai pemberlakuan pasal itu menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerapananya,” kata Thoha dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang diketuai Ahmad Fadlil Sumadi di ruang sidang MK, Selasa (4/2).

Pasal 15 ayat (2) menyebutkan Notaris berwenang pula membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan. Sedangkan Pasal 22 ayat (3) menyebutkan ketentuan formasi jabatan notaris dan penentuan kategori daerah diatur lebih lanjut oleh peraturan menteri.  

Dia menceritakan sejak dinyatakan lulus dalam ujian PPAT pada 2012, BPN menempatkan dia di kota Bekasi. Atas dasar itu, dirinya mengajukan permohonan penempatan sebagai notaris di kota yang sama. Namun, petugas loket C Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kemenkumham menolak dengan alasan formasinya sudah terbatas.

“Kenapa formasi terbatas dijadikan alasan untuk menolak permohonan saya, padahal formasi jabatan notaris yang terbatas bukan syarat diterima/ditolaknya pengajuan calon notaris,” kata Thoha.

Dia tak habis berpikir dengan kondisi seperti itu apakah ada sistemnya yang salah atau BPN yang salah? Hal ini mengakibatkan dia tak dapat memilih kota Bekasi sebagai wilayah kerja jabatan notaris. “Ini memaksa saya untuk memilih wilayah kerja di luar kota Bekasi karena menurut informasi, kalau memilih wilayah lain yang terbuka, saya akan diangkat sebagai notaris saat itu juga,” ungkapnya.

Terkait penerapan pasal itu, menurutnya adanya dualisme pengangkatan jabatan umum dalam hal ini PPAT dan Notaris. Sebab, proses pengangkatan dua jabatan itu berbeda dan saat pengangkatan jabatan notaris mengalami kendala. “Makanya, saya berharap MK membatalkan Pasal 21 dan Pasal 22 ayat (3) UU Jabatan Notaris karena bertentangan dengan UUD 1945,” tegasnya.

Dia juga meminta tafsir Pasal 15 ayat (2) huruf f mengenai kewenangan notaris  atas pembuatan akta yang berkaitan pertanahan. Dia mengakui selama ini UU Jabatan Notaris, memberi wewenang notaris membuat akta pertanahan. Padahal, faktanya akta pertanahan menjadi domainnya PPAT. “Secara tersirat, seharusnya saya pun berhak diangkat sebagai notaris karena pasal itu bisa memberi perlindungan bagi PPAT,” lanjutnya.

Menurut dia jabatan PPAT tanpa jabatan notaris akan mengalami kendala teknis dan terancam gugatan perdata. Mengingat Pasal 1868 KUHPer menyebutkan salah satu syarat akta dinilai otentik, pembuatan akta itu dibuat berdasarkan undang-undang. Sementara pembuatan akta-akta PPAT diatur dalam PP No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT jo Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksana PP No. 37 Tahun 1998.

“Otomatis ada celah hukum bagi saya bisa dipersoalkan apabila saya tidak diangkat sebagai notaris. Kalau memungkinkan, saya mengusulkan agar jabatan PPAT dan Notaris dilebur jadi satu, sehingga permohonan yang saya alami tidak terjadi lagi,” bebernya. “Kalau sudah ada SK Pengangkatan PPAT, otomatis berhak diangkat sebagai notaris atau sebaliknya.”

Anggota Panel Maria Farida Indrati menilai materi permohonan lebih banyak mengurai implementasi norma yang bersifat faktual, bukan persoalan konstitusionalitas norma. “Secara faktual/kongkrit boleh diuraikan hal-hal yang Anda alami, tetapi jangan terlalu panjang lebar,” saran Maria.

Yang terpenting, lanjut Maria, pemohon perlu menjelaskan uraian kenapa pasal-pasal yang diuji bertentangan dengan konstitusi. “Khususnya Pasal 1 ayat 3, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 sebagai pasal batu uji. Sebab, MK tak mengadili fakta kasus-kasus kongkrit, tetapi menguji norma undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945,” jelasnya. 
Tags:

Berita Terkait