PPATK Menilai Aturan Pencucian Uang di RKUHP Rancu
Berita

PPATK Menilai Aturan Pencucian Uang di RKUHP Rancu

Aturan peralihan harus diatur secara komprehensif

ALI
Bacaan 2 Menit
Seminar PPATK dengan tema Masa Depan Regulasi Anti Pencucian Uang di Indonesia dan Eksistensi PPATK Dalam Skema RUU KUHP. Jakarta, Selasa (25/3). Foto: RES
Seminar PPATK dengan tema Masa Depan Regulasi Anti Pencucian Uang di Indonesia dan Eksistensi PPATK Dalam Skema RUU KUHP. Jakarta, Selasa (25/3). Foto: RES
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Muhammad Yusuf menemukan beberapa kerancuan dalam merumuskan aturan pencucian uang dalam rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Yusuf mengatakan beberapa aturan pencucian uang dalam RKUHP itu bisa menciptakan kebingungan bagi yang membacanya. Secara spesifik, ia menunjuk rumusan unsur dalam Pasal 747 dan Pasal 748 RKUHP.

Pasal 747 RKUHP berbunyi,”Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana pencucian uang dengan tujuan………”

Sedangkan, Pasal 748 menyatakan, “Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana pencucian uang dipidana karena TPPU dengan pidana penjara paling lama 20 tahun…”  

“Tindak pidana asal (predicate crime) pencucian uang dalam kedua pasal tersebut adalah tindak pidana pencucian uang juga. Hal ini tentunya menunjukan adanya pemahaman yang keliru dari penyusun UU tentang TPPU dan tindak pidana asal,” ujarnya saat membuka seminar di Gedung PPATK, Selasa (25/3).

Lebih lanjut, Yusuf juga menyoroti naskah akademik RKUHP yang dinilai bisa menghilangkan eksistensi PPATK. Yakni, Naskah Akademik RUU KUHP pada halaman 251 yang menyatakan bahwa RKUHP dibentuk karena adanya problem hukum pidana dengan berlakunya sistem hukum tersendiri di luar KUHP.

Keadaan itu, masih berdasarkan naskah akademik RKUHP, diperparah dengan dibentuknya lembaga atau institusi baru yang bersifat independen yang diberi wewenang untuk melakukan penegakan hukum dan pembentukan pengadilan baru.

“Pernyataan ini perlu diklarifikasi, apakah unifikasi hukum ini juga dimaksudkan untuk melebur lembaga-lembaga penegak hukum yang ada di luar struktur KUHAP?” tanya Yusuf.

Dirjen HAM Kemenkumham Harkristuti Harkrisnowo menegaskan bahwa pembahasan RKUHP masih sebatas di Buku Kesatu yang mengatur tentang asas-asas pidana. “Kami (Pemerintah dan DPR,-red) masih membahas sebatas itu,” ujarnya.

Meski begitu, ia mempersilakan pihak-pihak terkait untuk memberi masukan terhadap RUU ini. “Silakan saja. Kami sangat terbuka,” ujarnya.

Harkristuti menyatakan tak ada upaya pemerintah dan DPR untuk menghilangkan lembaga-lembaga hukum yang ada. Lagipula, lembaga-lembaga tersebut tetap diakui berdasarkan aturan yang menegaskan aturan-aturan di luar KUHP tetap berlaku.

Tim Penyusun RKUHP Prof Muladi juga senada dengan Harkristuti. Ia menuturkan bahwa lembaga-lembaga di luar KUHP itu tetap diakui oleh RKUHP berdasarkan aturan peralihan. Ia menuturkan bahwa aturan peralihan ini cukup strategis untuk mempertahankan eksistensi lembaga-lembaga itu.

“Makanya, harus diatur secara komprehensif. Jangan sampai merugikan lembaga-lembaga yang sudah diakui secara sosiologis,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait