Presiden: Bagi Pengusaha Kecil dan Menengah, Tax Amnesty itu Hak Bukan Kewajiban
Berita

Presiden: Bagi Pengusaha Kecil dan Menengah, Tax Amnesty itu Hak Bukan Kewajiban

Program tax amnesty memang menyasar pembayar-pembayar pajak besar, terutama yang menaruh uangnya di luar negeri. Akan tetapi, tax amnesty juga bisa diikuti oleh yang lain seperti pengusaha menengah dan pengusaha kecil.

Mohamad Agus Yozami/ANT
Bacaan 2 Menit
Presiden Joko WIdodo. Foto: RES
Presiden Joko WIdodo. Foto: RES
Belakangan ini, hashtag “Stop Bayar Pajak” bermunculan di media sosial. Tak tahu siapa yang membuat hashtag tersebut, namun yang pasti masyarakat mulai terlihat resah dengan program tax amnesty yang belakangan justru terkesan menyasar kelas ekonomi menengah ke bawah.

Bagaimana tidak, sebagian masyarakat mungkin sering menerima informasi melalui email, sms atau sebagainya terkait program pemerintah yang satu ini. Isinya memang imbauan. Tapi bagi mereka yang awam, informasi tersebut justru menimbulkan rasa khawatir, apakah program ini wajib bagi seluruh masyarakat atau dikhususkan bagi mereka yang menyimpan hartanya di luar negeri dan “malas” membayar pajak.

Kekhawatiran masyarakat ini sampai ke telinga Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dilansir dari situs Setkab, Selasa (30/8), Jokowi menegaskan bahwa program pengampunan pajak atau tax amnesty memang menyasar pembayar-pembayar pajak besar, terutama yang menaruh uangnya di luar negeri. Akan tetapi, tax amnesty juga bisa diikuti oleh yang lain seperti pengusaha menengah dan pengusaha kecil.

Untuk menghilangkan gosip, rumor, atau keresahan di masyarakat, presiden mengingatkan bahwa Dirjen Pajak telah membuat aturan baru yang kurang lebih mengatakan, misalnya untuk petani, nelayan, pensiunan tidak perlu ikut tax amnesty. “Betul? enggak ikut atau apa istilahnya, tidak usah ikut menggunakan haknya untuk ikut tax amnesty,” kata Jokowi.

Jokowi menegaskan, mengikuti tax amnesty itu hak, bukan kewajiban. Kalau wajib, maka seluruh masyarakat harus melakukan. “Ini kan hak, yang gede pun sama saja kan, bisa menggunakan, bisa tidak. Yang usaha menengah juga bisa menggunakan bisa tidak, usaha kecil juga bisa menggunakan bisa tidak. Ini kan haknya. Ini payung hukumtax amnesty ini diberikan untuk itu. Jadi bukan wajib,” ujarnya. (Baca Juga: Tax Amnesty Resahkan Masyarakat, Presiden Minta Menkeu Beri Penjelasan)

Seperti diketahui, DirjenPajak Ken Dwijugiasteady pada 29 Agustus 2016 telah menandatangani Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-11/PJ/2016 tentang Peraturan Lebih Lanjut Mengenai Pelaksanaan Undang-Undang No.11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.

Dalam Peraturan Pajak itu ditegaskan, bahwa Wajib Pajak yang mempunyai kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) berhak mendapatkan Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty.

“Orang pribadi seperti petani, nelayan, pensiunan, tenaga kerja Indonesia atau subjek pajak warisan yang belum terbagi, yang jumlah penghasilannya pada Tahun Pajak Terakhir di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dapat tidak menggunakan haknya untuk mengikuti Pengampunan Pajak,” bunyi Pasal 1 ayat (2) Peraturan Dirjen Pajak itu.

Sebagaimana diketahui berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No: 101/PMK.010/2016adalah Rp 54 juta/tahun untuk Wajib Pajak dengan status tidak kawin (TK/0). Untuk Wajib Pajak dengan status kawin tanpa tanggungan/anak (K/0) nilai PTKPnya adalah Rp 58,5 juta/tahun, dan Wajib Pajak dengan status kawin dengan dua tanggungan/dua anak (K/2) nilai PTKPnya Rp 67,5 juta.

Dalam Peraturan Dirjen Pajak juga disebutkan, Warga Negara Indonesia yang tidak bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan tidak mempunyai penghasilan dari Indoensia merupakan Subjek Pajak Luar Negeri, dan dapat tidak menggunakan haknya untuk mengikuti Pengampunan Pajak.

Menurut Peraturan Dirjen Pajak ini, harta warisan bukan merupakan objek Pengampunan Pajak apabila: a. Diterima ahli waris yang tidak memiliki penghasilan atau memiliki penghasilan di bawah PTKP; atau b. Harta warisa sudah dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan pewaris.

Adapun harta hibahan bukan merupakan objek Pengampunan Pajak apabila: a. Diterima oleh orang pribadi penerima hibah yang tidak memiliki penghasilan atau memiliki penghasilan di bawah PTKP; atau harta hibahan sudah dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan pemberi hibah.

Bagi Wajib Pajak yang tidak menggunakan haknya untuk mengikuti Pengampunan Pajak, menurut Peraturan Dirjen Pajak ini, dapat menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) atau membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

Sedangkan terhadap harta yang diperoleh dari penghasilan yang telah dikenakan PPh atau harta yang diperoleh dari penghasilan yang bukan objek PPh dan belum dilaporkan dalam SPT PPh, menurut Peraturan Dirjen Pajak, berlaku ketentuan sbb: a. dalam hal SPT PPh telah disampaikan, Wajib Pajak dapat melakukan pembetulan SPT PPh; atau b. Dalam hal SPT PPh belum disampaikan, Wajib Pajak dapat melaporkan harta tersebut dalam SPT PPh.

“Dalam hal Wajib Pajak tidak menggunakan haknya untuk mengikuti Pengampunan Pajak dan Direktur Jenderal Pajak menemukan harta dan/atau i nformasi yang diperoleh sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai 31 Desember 2015 yang belum dilaporkan dalam SPT PPh, ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak diterapkan,” bunyi Pasal 3 ayat (3) Peraturan Dirjen Pajak itu.

“Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan,” bunyi Pasal 6 Peraturan Dirjen Pajak Nomor: PER-11/PJ/2016 yang ditetapkan pada 29 Agustus 2016 itu.

Aksi Tolak Tax Amnesty
Sementara itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal mengatakan, ratusan buruh akan melakukan aksi di depan Mahkamah Konstitusi pada sidang pertama uji materi Undang-Undang No.11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty). (Baca Juga: Ada ‘Pengecualian’ Pengampunan Pajak, Anda Termasuk?)

"Bertepatan dengan sidang pertama, ratusan buruh akan melakukan aksi di depan MK mulai pukul 10.00 WIB hingga sidang selesai. Permohonan uji materi itu dimotori KSPI dan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI)," kata Iqbal.

Iqbal mengatakan buruh berharap hakim konstitusi mengabulkan permohonan dengan membatalkan dan menyatakan Undang-Undang Pengampunan Pajak tidak berlaku serta menyatakan anggaran Rp165 triliun pada APBN 2016 yang berasal dari amnesti pajak tidak sah.

Alasan buruh menolak amnesti pajak karena kebijakan tersebut telah mencederai rasa keadilan. Pada saat orang kaya pengemplang pajak diampuni, buruh selama ini menerima upah murah dan tetap wajib membayar pajak. "Undang-Undang tersebut membuat pemerintah melakukan barter hukum dengan uang haram yang didapat dari amnesti pajak," ujarnya.

Iqbal kemudian membandingkan Undang-Undang Pengampunan Pajak dengan Peraturan Pemerintah (PP) No.78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang timpang dalam memperlakukan pengusaha dan pekerja.

Menurut Iqbal, pengusaha kaya dan korporasi dilindungi dengan Undang-Undang Pengampunan Pajak. Namun, pekerja dan buruh ditekan dengan Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan yang menghilangkan kesempatan buruh untuk merundingkan upah minimum setiap tahun.

"Dua peraturan yang berat sebelah itu menunjukkan pemerintah lebih mendukung pemodal dan korporasi daripada melindungi pekerja," katanya.

Tags:

Berita Terkait