Presiden Disarankan Terbitkan Perppu Pencabutan UU ITE, Ini Alasannya
Berita

Presiden Disarankan Terbitkan Perppu Pencabutan UU ITE, Ini Alasannya

Karena beberapa perbuatan pidana dalam UU ITE sudah diatur dalam KUHP dan UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit

Soal SARA ini, kata Jawade Hafidz, juga terdapat dalam UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Dalam BAB III Pasal 4 UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis disebutkan bahwa tindakan diskriminatif ras dan etnis berupa:

  1. Memperlakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya; atau
  2. Menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis yang berupa perbuatan:
    1. membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan, ditempelkan, atau disebarluaskan di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dilihat atau dibaca oleh orang lain;
    2. berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan kata-kata tertentu di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain;
    3. mengenakan sesuatu pada dirinya berupa benda, kata-kata, atau gambar di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dibaca oleh orang lain; atau
    4. melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis.

"Dalam pasal tersebut ada frasa 'tempat lainnya', termasuk pula media sosial. Jadi, sebenarnya soal SARA ini sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, baik dalam KUHP maupun UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis," kata Jawade.

Sebelumnya, mengutip pandangan mantan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, yang diunggah di akun Twitter @fahrihamzah dan Facebook-nya pada 25 Februari 2021 lalu, menilai Presiden sudah sangat jelas menyebut ada rasa keadilan masyarakat yang tak terpenuhi dari keberadaan UU ITE. Hal itulah yang membuat indeks demokrasi Indonesia turun dan diragukan dunia. 

Dia mengusulkan tiga pilihan langkah cepat yakni menerbitkan Perppu UU ITE; Revisi UU ITE yang dikembalikan ke UU Transaksi Elektronik; dan atau sahkan segera RUU KUHP bersama DPR. “Memang secara filosofis tidak boleh ada satu realitas bagi individu atau kelompok masyarakat merugikan dirinya, lalu tak terdefinisikan dalam hukum. Hukum harus punya jawaban atas keluhan warga negara,” kata Fahri Hamzah.  

Menurutnya, pasal-pasal dalam UU ITE ketika masuk ke KUHP akan mengalami rekodifikasi dan sifatnya akan menjadi lebih lunak dan manusiawi. Jadi normanya tak perlu hilang, tapi menjadi tidak agresif seperti sekarang dan mendorong petugas memfasilitasi pertengkaran yang masif. Sebab, tujuan pemidanaan dalam KUHP baru bergeser dari mengejar keadilan retributif (penjeraan pelaku) menjadi keadilan korektif, rehabilitatif, dan restoratif. “Ini mimpi lama para ahli hukum kita dan kita semua menghadapi tantangan zaman,” katanya. (ANT)

Tags:

Berita Terkait