Rapor Buruk Performa Legislasi DPR
Berita

Rapor Buruk Performa Legislasi DPR

DPR seringkali mengedepankan kuantitas berapa produk legislasi yang dihasilkan sehingga kualitas menjadi terabaikan.

Rzk
Bacaan 2 Menit
Rapor Buruk Performa Legislasi DPR
Hukumonline

 

Sebagai sampel, PSHK menyoroti 40 produk legislasi yang dihasilkan DPR dan pemerintah selama tahun 2007, dimana 15 diantaranya terkait pemekaran wilayah, lima ratifikasi perjanjian internasional, dan dua penetapan PERPU menjadi undang-undang. Direktur Eksekutif PSHK Aria Suyudi mengatakan pembuatan ketiga kategori RUU tersebut relatif mudah karena tidak melewati proses perdebatan yang rumit di tingkat pembahasan.

 

UU Pemekaran Wilayah

Dihasilkan Selama Tahun 2007

 

NO

NOMOR UU

JUDUL

1.               

19 TAHUN 2007

PEMBENTUKAN KABUPATEN MAMBERAMO RAYA DI PROVINSI PAPUA

 

2.               

31 TAHUN 2007

PEMBENTUKAN KOTA TUAL DI PROVINSI MALUKU

 

3.               

32 TAHUN 2007

PEMBENTUKAN KOTA SERANG DI PROVINSI BANTEN

 

4.               

33 TAHUN 2007

PEMBENTUKAN KABUPATEN PESAWARAN DI PROVINSI LAMPUNG

 

5.               

34 TAHUN 2007

PEMBENTUKAN KABUPATEN TANA TIDUNG DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

 

6.               

35 TAHUN 2007

PEMBENTUKAN KABUPATEN KUBU RAYA DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT

 

7.               

36 TAHUN 2007

PEMBENTUKAN KABUPATEN MANGGARAI TIMUR DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

 

8.               

37 TAHUN 2007

PEMBENTUKAN KABUPATEN PADANG LAWAS UTARA DI PROVINSI SUMATERA UTARA

 

9.               

38 TAHUN 2007

PEMBENTUKAN KABUPATEN PADANG LAWAS DI PROVINSI SUMATERA UTARA

 

10.            

 

RUU pembentukan Kabupaten Lani Jaya di Propinsi Papua

 

11.            

 

RUU pembentukan Kabupaten Dogiyai di Propinsi Papua

 

12.            

 

RUU pembentukan Kabupaten Puncak di Propinsi Papua

 

13.            

 

RUU pembentukan Kabupaten Yalimo di Propinsi Papua

 

14.            

 

RUU pembentukan Kabupaten Memberano di Propinsi Papua

 

15.            

 

RUU pembentukan Kabupaten Nduga di Propinsi Papua

 

Sumber: PSHK (No. 10-15 belum mendapat penomoran)

 

RUU pemekaran wilayah, menurut Aria, lebih kental nuansa politisnya dan cenderung memunculkan banyak masalah. Sementara, RUU ratifikasi perjanjian internasional praktis hanya mengesahkan dan mengadopsi instrumen internasional ke hukum nasional. Dengan perhitungan di atas, terlihat bahwa lebih dari 50% beban legislasi tahun ini tidak terlalu memberatkan sehingga seharusnya DPR bisa lebih fokus memaksimalkan jumlah dan kualitas RUU yang akan disahkan, tambahnya.

 

Prioritas dan proses

Tidak hanya dari segi output, PSHK juga menyoroti keberadaan daftar program legislasi yang selalu ditetapkan setiap tahunnya. Daftar ini dinilai tidak jelas implementasinya karena walaupun telah ditetapkan tetapi setiap tahunnya selalu ada RUU yang tidak selesai diluncurkan untuk periode berikutnya. Untuk itu, PSHK memandang sudah saatnya DPR mengevaluasi kebijakan program legislasi mereka.

 

Prioritas legislasi seharusnya realistis, jangan terlalu ambisius sehingga tidak menimbulkan kekecewaan publik. Untuk itu, PSHK mengusulkan agar DPR membuat daftar prioritas yang didasarkan pada tiga isu. Pertama, RUU untuk melanjutkan upaya pemberantasan korupsi dan memulai reformasi birokrasi seperti RUU Administrasi Pemerintahan, RUU Keterbukaan Informasi Publik, dan RUU Tindak Pidana Korupsi. Kedua, RUU untuk persiapan Pemilu 2009 seperti RUU Pemilu, RUU Pilpres dan RUU Susduk. Ketiga, RUU untuk perbaikan kesejahteraan rakyat serta perbaikan pelayanan kesehatan dan pendidikan.

 

Dari segi proses, PSHK melihat masih banyak pembahasan RUU yang dilaksanakan secara tertutup dan belum partisipatif, khususnya RUU yang kental muatan politisnya. Tidak hanya itu, DPR bahkan ditenggarai sengaja menunda pembahasan agar dapat dibawa ke proses Panitia Kerja (Panja) yang selalu dinyatakan tertutup. DPR selalu menggunakan Pasal 95 ayat (2) Tata Tertib DPR sebagai tameng, padahal masih ada kemungkinan diselenggarakan terbuka.

 

Pembahasan RUU Susduk merupakan pintu masuk yang penting, pembahasan RUU mesti keluar dari pakem yang ada selama ini dengan mengedepankan representasi serta aspek transparansi, akuntabilitas dan efektivitas kerja DPR, kata Aria.

      

Analisa kebutuhan

Anggota Badan Legislatif (Baleg) Nursyahbani Katjasungkana mengatakan permasalahan mendasar proses legislasi DPR adalah ketiadaan analisis kebutuhan yang komprehensif. Dia menambahkan sejak pertama DPR periode 2004-2009 bertugas, RUU masuk tanpa mempertimbangkan kebutuhan hukum yang sebenarnya. Analisis baru dilakukan ketika DPR merumuskan daftar program legislasi tahunan. Padahal, pemerintah selalu menetapkan arah pembangunan hukum nasional yang dirumuskan melalui seminar-seminar yang biayanya tidak sedikit. Sayangnya, itu hanya ritual, implementasinya tidak jelas, ujar politisi dari PKB ini.

 

Terkait proses tertutup, Nursyahbani menuding Tatib DPR yang mengandung sejumlah kelemahan. Soal Panja, misalnya, Pasal 95 ayat (2) justru menjadikan keterbukaan sebagai pengecualian, bukannya hal yang utama. Rumusan seperti dipandang bertentangan dengan prinsip transparansi (keterbukaan) dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004. Sayang, banyak pimpinan yang tidak memahami prinsip ini, kilahnya.

 

Untuk itu, Nursyahbani memandang Tatib DPR harus segera direvisi. Dia menginformasikan saat ini, Tatib DPR tengah direformulasi, dimana salah satu bagian yang menjadi perhatian utama adalah perbaikan proses pembentukan undang-undang di DPR.

Konstitusi menetapkan DPR memiliki tiga fungsi utama yakni legislasi, pengawasan dan anggaran. Meskipun tidak ada ketentuan yang secara tegas menyatakan satu fungsi lebih penting dari yang lainnya, namun fungsi legislasi selalu menjadi sorotan utama. Ketua DPR Agung Laksono dalam beberapa kesempatan seringkali menegaskan hal itu.

 

Pimpinan DPR sudah meminta kepada Komisi-Komisi dan Pansus untuk memacu fungsi legislasi, menetapkan kegiatan legislasi sebesar 60 persen, 40 persen untuk pelaksanaan fungsi anggaran dan fungsi pengawasan, kata Agung ketika menutup Masa Sidang II Tahun Sidang 2007-2008 pada 7 Desember lalu.

 

Bagi DPR, ukuran keberhasilan fungsi legislasi selalu dikaitkan dengan jumlah undang-undang yang berhasil mereka setujui melalui Rapat Paripurna. Masih dalam pidatonya, Agung misalnya lebih mengedepankan keberhasilan DPR yang sejauh ini telah menyelesaikan 93 dari 284 keseluruhan yang telah diprogramkan dalam Prolegnas 2004-2009, terlepas dari kualitas materi RUU-nya.

 

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) melalui rilis tentang Catatan Akhir Tahun 2007 Mengenai Kinerja Legislasi DPR, menyatakan jumlah tidak bisa dijadikan parameter berhasil atau tidaknya kinerja legislasi DPR. Mencermati produk RUU yang telah dihasilkan, PSHK menilai dari segi bobot belum memuaskan karena sebagian besar hanyalah RUU pemekaran wilayah dan ratifikasi perjanjian internasional.

Tags: