Regulasi Sumur Tua Buka Peluang Pencurian Minyak
Berita

Regulasi Sumur Tua Buka Peluang Pencurian Minyak

Kegiatan pengeboran minyak di sumur tua sebaiknya dilakukan oleh Koperasi atau Badan Usaha Daerah, sehingga mudah untuk dilakukan pengawasan.

RED/ANT
Bacaan 2 Menit
Foto: skkmigas.go.id
Foto: skkmigas.go.id
Pencurian minyak yang marak terjadi hingga saat ini akibat masih berlakunya regulasi yang mengatur pengelolaan sumur tua. Hal ini dikatakan Kepala Divisi Penunjang Operasi Bidang Pengendalian Operasi SKK Migas, Baris Sitorus, dalam diskusi bertajuk "Lawan Illegal Drilling untuk Perbaikan Sektor Hulu Migas", di Jakarta, Selasa (9/10).

"Otonomi daerah yang menjadikan bupati/wali kota menjadi raja kecil di daerah serta para cukong yang menjadi otak kegiatan tersebut juga ikut memberi kontribusi terhadap maraknya kegiatan haram ini," katanya.

Menurut Baris Sitorus, Peraturan Menteri ESDM No. 01 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi Pada Sumur Tua, yang mengatur pengelolaan sumur tua menyebutkan bahwa kegiatan eksploitasi minyak di sumur tua harus melalui izin pemilik konsesi. Kemudian para penambang di sumur tua, dibayar berdasarkan ongkos angkut.

“Alasan ongkos angkut yang berada di bawah upah tenaga kerja menjadi penyebab, mengapa mereka melakukan kreasi, mengambil minyak yang bukan hak mereka,” ujar Baris.

Selain itu, yang perlu menjadi perhatian adalah dampak dari kegiatan tersebut. Para pelaku kegiatan ilegal ini tidak memperhatikan perlengkapan keselamatan kerja, sehingga akan berdampak bagi keselamatan mereka. Ia mengingatkan risiko kegiatan pengeboran minyak (illegal drilling) cukup tinggi. Terutama unsur hidrokarbon dari dalam sumur yang bisa menyebabkan kebakaran dan juga kerusakan lingkungan.

Namun, kata Baris, para pelaku memperlakukan sumur minyak seperti memperlakukan sumur air biasa. Oleh karena itu, kegiatan pengeboran minyak di sumur tua sebaiknya dilakukan oleh Koperasi atau Badan Usaha Daerah, sehingga mudah untuk dilakukan pengawasan, karena ada penanggungjawab, izin dan juga sertifikasi, katanya.

SKK migas, lanjutnya selama ini terus melakukan upaya sosialisasi dan kerja sama dengan aparat keamanan serta Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pemegang konsesi terkait dampak dari kegiatan eksploitasi migas yang tidak memperhatikan aspek kesehatan dan keselamatan kerja.

Ia berharap, berbagai persoalan tersebut bisa dimasukan dalam revisi Undang-Undang Migas yang kini sedang digodok pemerintah dan DPR. "Sehinggga kegiatan illegal drilling atau illegal tapping, bisa diminimalkan," kata Baris Sitorus dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Energy and Mining Editor Society (E2S) dan Siar Institute tersebut.

Pembicara lain Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjajaran (Unpad), Dr Muradi, mengatakan gangguan terhadap lapangan migas yang menjadi objek vital nasional disebabkan setidaknya oleh lima hal. Yakni adanya undang-undang otonomi daerah, rekruitmen yang salah sasaran, oknum petugas keamanan yang ikut menjadi dalang, mafia migas lokal dan bekas karyawan yang sakit hati dan justru mengetahui celah untuk melakukan gangguan terhadap kegiatan usaha migas.

"Sejak otonomi daerah, bupati sudah menjadi raja kecil, predator yang memangsa apa saja. Sehingga tidak heran, perusahaan seringkali dijadikan ATM (mesin uang)," ujar lulusan Flinders University Australia ini.

Untuk mengatasi hal itu, ada beberapa langkah yang perlu dilakukan, mulai dari penataan legalitas, terutama revisi UU migas, kontrol pusat atas daerah terkait kewenangan, pelibatan aktor keamanan terintegratif, program CSR dan berbasis lokal serta juga penegakan hukum dan disiplin anggota.

Terkait aturan ataupun regulasi di daerah yang mengatur kegiatan usaha migas, jika memang bertentangan dengan aturan di atasnya dan dijadikan modus untuk menghalalkan kegiatan ilegal, bisa dicabut melalui kewenangan Menteri Dalam Negeri, kata Muradi yang pernah melakukan penelitian illegal tapping di Sumatera Selatan pada 2002.

Catatan Polri menyebutkan bahwa di wilayah hukum Polda Sumatera Selatan yang menjadi basis kegiatan illegal migas, pada 2010 ada 22 kasus yang diproses, kemudian 30 kasus tahun 2011, ada 90 kasus pada 2012 dan pada 2013 sebanyak 34 kasus.

Menurut Ketua Komite Tetap Hulu Migas Kamar dagang dan Industri (Kadin), Firlie Ganinduto, banyak persoalan yang terjadi sektor minyak dan gas bumi di Indonesia. Mulai dari perizinan yang berbelit dan membutuhkan waktu ratusan hari serta banyaknya birokrasi yang harus dilalui. "Untuk izin pengeboran misalkan, kita harus ke Kementerian ESDM, Kehutanan, Lingkungan Hidup, Perindustrian juga BKPM. Belum lagi harus menghadapi pemerintah daerah," keluhnya.

Selain itu, masih banyak aturan yang tumpang tindih dan berlawanan antara pusat dan daerah. Selesai urusan di pusat, belum tentu mulus di daerah demikian juga sebaliknya sehingga tidak ada kepastian hukum di sektor migas. Tanpa adanya kepastian hukum, investor akan enggan untuk berinvestasi di tanah air. Padahal, industri migas merupakan industri yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

"Makanya jangan heran, kalau dalam lima tahun terakhir, belum ada lagi investasi baru di sektor migas. Solusi untuk mengatasi masalah itu semua adalah revisi UU Migas," ujarnya.
Tags:

Berita Terkait