Revisi KUHP Perlu Adopsi Konvensi Anti Penyiksaan
Berita

Revisi KUHP Perlu Adopsi Konvensi Anti Penyiksaan

Guna mendukung penghapusan praktik penyiksaan.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

Ratifikasi OPCAT menurut Yati bisa digunakan untuk mencegah terjadinya potensi praktik penyiksaan dalam pemberantasan terorisme. Dalam revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah disahkan DPR beberapa waktu lalu Yati melihat ada ketentuan yang berpotensi menimbulkan praktik penyiksaan, antara lain kewenangan penangkapan sampai 14 hari dan bisa diperpanjang sampai 7 hari; dan tidak diketahui dimana lokasi penahanan orang yang ditangkap itu. Jika OPCAT diratifikasi, potensi itu bisa dicegah karena ada ketentuan yang mengatur tentang penjagaan dan perlindungan.

(Baca juga: Kasus Penyiksaan Cenderung Meningkat).

Kepala Bidang Advokasi KontraS, Putri Kanesia, melihat ada ketentuan yang mengatur soal penyiksaan dalam rancangan KUHP, tapi ketentuan itu hanya menjelaskan defenisi penyiksaan. Padahal KUHP perlu juga mengatur defenisi tentang penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan. Misalnya, dalam kasus buruh kuali di Tangerang, praktik penyiksaan tidak dilakukan oleh aparat tapi mereka mengetahui adanya praktik kejam itu. Pembiaran yang dilakukan aparat terhadap praktik penyiksaan itu menurut Putri harus diatur dalam rancangan KUHP.

(Baca juga: Revisi KUHP dan KUHAP Penting Cegah Penyiksaan).

Masih soal ketentuan terkait penyiksaan dalam rancangan KUHP, Putri berpendapat sanksi yang ada hanya menyasar pelaku langsung. Menurutnya pertanggungjawaban komando juga patut diatur lebih lanjut dalam KUHP. Pimpinan harus mendapat sanksi yang lebih berat daripada anggotanya. Selain itu ancaman hukuman bagi pelaku praktik penyiksaan dalam rancangan KUHP maksimal hanya 15 tahun, padahal konvensi Anti Penyiksaan mengatur 20 tahun.

Putri juga menyoroti aturan mengenai daluarsa kasus penyiksaan dalam rancangan KUHP.  “Kami menuntut pemerintah dan DPR untuk membenahi ketentuan terkait penyiksaan dalam rancangan KUHP sebelum disahkan,” papar Putri.

Kepala Divisi Pembelaan HAM KontraS, Arif Nur Fikri, memaparkan dari 130 kasus penyiksaan yang dipantau KontraS selama satu tahun ini sebanyak 13 kasus merupakan pengaduan yang masuk ke KontraS, sisanya hasil pemantauan dari pemberitaan media. Ratusan kasus penyiksaan itu menyebabkan sedikitnya 315 orang terluka. Institusi pelaku penyiksaan yakni Polri (80 kasus), TNI (28 kasus), dan petugas lapas (22). Kemudian 78 kasus penyiksaan itu motifnya untuk mendapat pengakuan dari korban dan 52 kasus sebagai bentuk hukuman.

Menurut Arif masing-masing institusi itu punya peraturan internal yang melarang praktik penyiksaan. Tapi faktanya praktik penyiksaan masih terjadi. Penjatuhan sanksi terhadap pelaku penyiksaan tergolong ringan padahal korbannya sampai meninggal. “Ada aparat yang melakukan penyiksaan kemudian pengadilan hanya menjatuhkan pidana satu tahun dan pemecatan,” tukasnya.

Tags:

Berita Terkait