Revisi UU KY Tak Jawab Konflik KY-MA
Utama

Revisi UU KY Tak Jawab Konflik KY-MA

Untuk sanksi yang bersifat ringan dan sedang, rekomendasi KY wajib dilaksanakan oleh MA.

Ali Salmande/Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Revisi UU KY tak memberikan solusi atas konfilk MA dan KY. Foto: Sgp
Revisi UU KY tak memberikan solusi atas konfilk MA dan KY. Foto: Sgp

Revisi UU No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (KY) memang telah rampung dibahas oleh Pemerintah dan Panitia Kerja DPR. Namun, RUU yang tinggal menunggu pengesahan paripurna DPR ini ternyata dinilai tidak memberikan solusi atas konflik yang selama ini terjadi antara KY dan Mahkamah Agung (MA). Pernyataan ini justru dilontarkan oleh salah satu fraksi yang ikut menyetujui dan membahas RUU ini.

 

“(RUU,-red) ini hasil maksimal. Persoalannya kan selama ini selalu muncul perbedaan interpretasi antara KY dengan MA bahwa tidak ada iktikad baik untuk membedakan antara perilaku hakim yang bisa dikontrol dan wewenang hakim memutus perkara. Undang-undang Ini belum maju soal itu,” ujar juru bicara Fraksi Gerindra Martin Hutabarat di ruang rapat Komisi III, Kamis (6/10).

 

Martin bahkan memprediksi RUU ini tak akan berusia lama. Kemungkinan, lanjutnya, undang-undang ini akan direvisi lagi dalam dua atau tiga tahun ke depan karena belum menyentuh persoalan sesungguhnya. “Tapi kami hargai karena memang pembahasannya sudah sejak lama,” tuturnya.

 

Salah satu ketentuan yang krusial mengatur mengenai pengawasan hakim oleh KY. Pasal 22D ayat (2) mengatur bermacam-macam sanksi untuk para hakim nakal, yang terdiri dari sanksi ringan, sedang dan berat. Rinciannya, sanksi ringan berupa teguran lisan, teguran tertulis, dan pernyataan tak puas secara tertulis.

 

Sanksi sedang terdiri atas: penundaan kenaikan gaji berkala paling lama satu tahun, penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala paling lama satu tahun, penundaan kenaikan pangkat paling lama satu tahun dan hakim non palu paling lama enam bulan.

 

Sedangkan, sanksi berat terdiri atas: pembebasan dari jabatan struktural, hakim non palu lebih dari enam bulan sampai dengan dua tahun, pemberhentian sementara, pemberhentian tetap dengan hak pensiun, dan pemberhentian tetap dengan tidak hormat.

 

“Sanksi-sanksi itu diberikan bila seorang hakim terbukti telah melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim,” jelas Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar.

 

Berdasarkan RUU yang telah disetujui ini, bila MA telah sepakat dengan penjatuhan sanksi oleh KY, maka MA harus memutus atau mengeksekusi rekomendasi KY itu dalam jangka waktu 60 hari. Bila dalam jangka waktu itu tak dieksekusi oleh MA, maka rekomendasi KY otomatis berlaku menjadi sanksi.

 

Lalu bagaimana bila MA tak sepaham dengan penjatuhan sanksi itu? Ada lagi ketentuan yang mengatur. Pasal 22E RUU ini menyatakan bila terjadi perbedaan pendapat, maka harus dilakukan pemeriksaan bersama antara KY dan MA. Ketentuan ini dikecualikan bagi rekomendasi KY berupa pemberhentian tetap dengan hak pensiun dan pemberhentian tetap dengan tidak hormat. Untuk sanksi ini sudah diatur melalui proses Majelis Kehormatan Hakim (MKH).

 

Teknis Yudisial

Martin sebenarnya mempertanyakan perbedaan antara kode etik dan pedoman perilaku hakim dan hal-hal yang dianggap bersifat teknis yudisial. Selama ini, MA kerap menolak rekomendasi dari KY karena lembaga pengawas eksternal MA itu telah masuk wilayah teknis yudisial, seperti memeriksa putusan hakim dan sebagainya. Sedangkan, KY beranggapan itu hanya pintu masuk untuk memeriksa kode etik dan perilaku hakim.

 

Sementara, Patrialis justru berpendapat sebaliknya. Ia mengatakan kode etik dan pedoman perilaku itu sudah ada, sehingga tinggal mengacu ke situ. Ia juga menegaskan KY seharusnya tak boleh lagi ikut-ikutan menilai putusan hakim karena itu merupakan wujud kekuasaan kehakiman yang merdeka. “Kalau masih periksa putusan hakim, nanti jadi masalah lagi,” ujarnya.

 

Lalu, apakah pemerintah optimis bila dalam pemeriksaan bersama, MA dan KY akan menemui kata sepakat? Patrialis hanya menjawab singkat. “Masak lembaga negara berantem sih. Lucu dong. Kita yakini orang-orang yang ada di dalam lembaga negara ini adalah orang-orang yang bisa melaksanakan tugas untuk kepentingan negara,” pungkasnya.

 

Sementara itu, Juru Bicara KY Asep Rahmat Fajar mengapresiasi RUU yang dihasilkan DPR dan pemerintah. Dia berharap jika nantinya resmi diundangkan, UU KY yang baru itu akan mempertegas batas kewenangan antara KY dan MA, khususnya dalam hal penjatuhan sanksi. “Secara umum materi yang disepakati jauh lebih maju dari UU KY sebelumnya,” Asep menambahkan.

Tags: