RUU PTPPO Lindungi Anak di bawah Usia 18 Tahun
Berita

RUU PTPPO Lindungi Anak di bawah Usia 18 Tahun

Pansus segera menyerahkan draft akhir RUU usul inisiatif DPR tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang kepada Pemerintah akhir bulan Juli. Pembahasan dengan Pemerintah sudah dapat dimulai seusai reses atau bulan Agustus.

Tif
Bacaan 2 Menit
RUU PTPPO Lindungi Anak di bawah Usia 18 Tahun
Hukumonline

 

Ia juga menyoroti kelemahan Departemen Dalam Negeri dan Ditjen Imigrasi dalam pembuatan identitas. Padahal umumnya korban memiliki identitas palsu. Oleh karena itu, ia mendukung single identification number (SIN) sebagai sarana untuk meminimalisir perdagangan orang.

 

Aspek krusial yang ada dalam RUU PTPPO antara lain RUU ini mendefinisikan perdagangan orang sesuai rekomendasi Internasional dalam protokol PBB tahun 2000. Berdasarkan Pasal 2-22, RUU PTPPO mengancam siapapun yang melakukan atau terlibat melakukan praktik perdagangan orang. RUU ini menegaskan definisi anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk yang ada dalam kandungan.

 

Pihak yang dapat terjerat dalam praktik perdagangan orang antara lain pengerah tenaga kerja (PJTKI), majikan yang mengeksploitasi pekerja rumah tangganya, pelaku pariwisata yang menyediakan layanan seksual anak, pelaku jasa pertukaran budaya antar bangsa yang menjerumuskan perempuan dan anak ke dalam segala bentuk eksploitasi seksual. RUU PTPPO juga dapat menjerat jasa hiburan yang mempekerjakan anak di bawah usia 18 tahun, yayasan atau calo adopsi anak yang melakukannya secara komersial dan melawan regulasi yang berlaku, klinik yang sengaja membantu persalinan untuk tujuan adopsi komersial dan penyelenggara negara yang menyalahgunakan kekuasaan.

 

Anggota DPR dari F-PG Asiah Salekan menyatakan pasal 51 ayat (1) sudah menyebutkan bahwa untuk efektifitas PTPPO, Pemerintah melakukan kerja sama internasional. Selain itu, lanjut Asiah, bisa juga dalam bentuk perjanjian timbal balik dalam masalah pidana (mutual legal assistance).

 

Berdasarkan lembar fakta, diketahui bahwa negara penerima perdagangan orang antara lain di Asia Tenggara (Singapura, Malaysia, Brunei, Filipina dan Thailand), Timur Tengah (Arab Saudi), Taiwan, Hong Kong, Jepang, Korea Selatan, Australia dan Amerika Selatan. Sementara daerah transit antara lain Medan, Batam, Jakarta, Solo, Surabaya, Pontianak, Entikong dan Nunukan.

 

RUU ini terdiri atas sembilan bab dan 61 pasal, yang membahas ketentuan umum, tindak pidana perdagangan orang, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan, perlindungan korban dan saksi, hak korban, pencegahan , kerja sama dan peran serta masyarakat serta ketentuan peralihan dan ketentuan penutup.

 

RUU ini mengakui penderitaan korban sebagai akibat tindak pidana perdagangan orang. Oleh karena itu, RUU PTPPO ini mencantumkan  bahwa persetujuan korban tidak bisa menjadi alasan pemaaf tindak pidana perdagangan orang (Pasal 24), pembebasan dari segala bentuk hutang atau perjanjian yang menjadi dasar eksploitasi terhadap korban (Pasal 25), korban berhak atas restitusi yang harus diberikan pelaku tindak pidana  sebagai ganti rugi bagi korban (Pasal 40) dan korban berhak atas layanan negara untuk pemulihan fisik dan sosial akibat perdagangan orang (pasal 42).

Ketua Pansus RUU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) Latifah Iskandar menegaskan, Indonesia membutuhkan aturan baru tentang pemberantasan perdagangan orang. Pasalnya, peraturan yang ada tidak memiliki definisi tentang perdagangan orang. Hal ini membuat aparat penegak hukum di lapangan kesulitan untuk bekerja dengan efektif dalam memberantas perdagangan orang. Selain itu, sanksi pidana yang ada dalam KUHP hanya memberikan hukuman  ringan yaitu maksimal enam tahun penjara. Akibatnya, pelaku tidak jera.

 

RUU ini inisiatif DPR. Jadi proses masih lama, karena menunggu Pemerintah menunjuk mitra pembahas dengan DPR. Kami harapkan setelah reses, pembahasan dapat segera dimulai dan akhir tahun ini sudah dapat diselesaikan, kata Latifah dalam konferensi pers di Gedung DPR, Jakarta, Senin (17/7).

 

Anggota DPR dari F-PAN ini juga melihat UU yang ada tidak memberikan pelayanan yang dibutuhkan korban perdangan orang dalam proses hukum, sehingga para korban enggan mengungkapkan di pengadilan mengenai praktik perdagangan orang yang telah menimpa.

 

Kalau RUU ini sudah disahkan menjadi UU, harus ada shelter untuk menampung korban di daerah transit. Sekarang kan tidak jelas siapa yang harus membangun shelter dan menolong korban. Kalau menurut amanat undang-undang, ada peran masyarakat setempat dengan pemerintah daerah. Saya kira Departemen Sosial dan Kepolisian sangat pas dalam penanganan korban trafficking, kata Latifah.

Halaman Selanjutnya:
Tags: