Saatnya, Hanya Advokat Berpraktik di MK
Utama

Saatnya, Hanya Advokat Berpraktik di MK

Tujuannya jelas, bila ada dugaan pelanggaran kode etik, si advokat bisa dikenakan sanksi.

Oleh:
Ali/ASh
Bacaan 2 Menit
Peradi akan beraudiensi dengan MK terkait kewajiban para<br>pihak didampingi advokat. Foto: Sgp
Peradi akan beraudiensi dengan MK terkait kewajiban para<br>pihak didampingi advokat. Foto: Sgp

Penghujung tahun 2010 mungkin menjadi momen terkelam dalam sejarah perjalanan Mahkamah Konstitusi (MK). Aroma suap belakangan berhembus sehingga citra MK yang selama ini dikenal cukup “bersih” pun goyah. Semuanya berawal dari sebuah tulisan karya Refly Harun di Harian Kompas yang menyebut adanya dugaan praktik suap di MK.

 

Ibarat peribahasa “nasi telah menjadi bubur”, apa yang sudah terjadi tentunya tidak bisa lagi dikoreksi. Langkah bijak yang harus dilakukan adalah mengambil hikmah dari kejadian ini. Kamis lalu (16/12), kepada hukumonline, Hakim Konstitusi M Akil Mochtar mengatakan belajar dari pengalaman kasus ini, maka ketentuan yang tidak mewajibkan pemohon didampingi seorang advokat perlu dikaji ulang.

  

Akil menunjuk Peraturan MK No 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-undang. Di situ dinyatakan bahwa orang yang mendampingi pemohon prinsipal tidak harus advokat. Dengan kata lain, MK memberi keleluasaan bagi mereka yang bukan advokat untuk berpraktik, selama yang bersangkutan menguasai prosedur beracara di MK dan persoalan yang dihadapi.    

 

Menurut Akil, ketentuan itu awalnya berlaku hanya terhadap pengujian undang-undang. Namun, belakangan merembet juga ke perkara-perkara pemilukada. Di satu sisi, Akil mengakui bahwa UU No 18 Tahun 2003 menyatakan setiap orang yang beracara di pengadilan harus advokat. Namun, Peraturan MK No 06/PMK/2005 ketika itu dibuat dengan maksud mempermudah masyarakat. Apalagi, saat itu MK terbilang baru.

 

Seiring dengan berjalannya waktu dan kejadian yang dialami MK, Akil usul Peraturan MK No 06/PMK/2005 diubah sehingga hanya advokat yang dapat mendampingi pemohon. Menurut Akil, jika advokat yang mendampingi pemohon maka pertanggungjawaban profesinya akan lebih jelas.

 

“Dalam kasus Refly, kalau tulisan itu tidak benar bagaimana tanggung jawabnya? Itu yang jadi problem karena Refly memang bukan advokat, tetapi salah satu temannya (Maheswara Prabandono, red.) adalah advokat,” ujarnya mencontohkan.

 

Berdasarkan penelusuran hukumonline, UU MK Nomor 24 Tahun 2003 serta sejumlah peraturan MK menggunakan frasa yang berbeda terkait siapa saja pihak yang diperkenankan berperkara di MK. UU MK dan Peraturan MK No 06/PMK/2005 menggunakan frasa “pemohon atau kuasanya”.

Halaman Selanjutnya:
Tags: