Bagi LBH APIK, membentuk pengadilan keluarga yang terpadu adalah kebutuhan mendesak bagi terbukanya akses yang lebih luas terhadap keadilan. Pemisahan penanganan perkara perdata dan pidana dalam kasus-kasus yang menyangkut hubungan keluarga seperti misalnya perkawinan dan kekerasan dalam rumah tangga dalam sistim peradilan Indonesia menimbulkan dampak merugikan bagi perempuan korban KDRT dalam mengakses keadilan. Data dari berbagai sumber menunjukkan bahwa mayoritas istri yang mengalami KDRT lebih memilih menyelesaikan masalahnya dengan melakukan perceraian dari pada memperkarakan kasus KDRT nya.
Pemisahan ini di mata LBH APIK menyebabkan proses penyelesaian perkara menjadi lebih panjang dan mahal yang menyebabkan impunitas bagi pelaku KDRT. Alih-alih memberikan tambahan kompensasi, Pengadilan sering tidak mempertimbangkan terjadinya KDRT itu selain semata menjadi alasan terjadinya perceraian. Dalam banyak kasus, para istri yang mengajukan gugatan perceraian karena KDRT justru kehilangan hak-haknya seperti misalnya tidak memperoleh nafkah iddah dan atau uang mut’ah. Padahal, istri yang mengajukan gugat cerai semakin tinggi 59.32% (190.280) dibandingkan dengan talak yang diajukan oleh suami 29.33% (94.099).
“Data ini terkonfirmasi dengan tingginya angka KDRT dibandingkan angka kekerasan terhadap perempuan yang lain. Catatan Tahunan Komnas Perempuan (2012) misalnya mencatat, angka KDRT khususnya kekerasan terhadap istri tahun 2012 sebesar 203.507” demikian LBH APIK dalam rilisnya yang diterima hukumonline.
Pengadilan keluarga seharusnya menjadi pengadilan yang problem solving terhadap masalah keluarga, dan tidak sekadar memutus perkara. “Sehingga penyelesaian perkara keluarga mempertimbangkan pendekatan kekeluargaan, memberi rasa keadilan, memenuhi hak-hak korban dan mendorong perubahan pada pelaku KDRT”.
Pengalaman kantor-kantor LBH APIK dalam menangani kasus-kasus perceraian dan KDRT dan kasus keluarga lainnya telah memunculkan ide untuk mendorong pemerintah dan DPR untuk melahirkan UU pengadilan keluarga dalam rangka memenuhi asas pengadilan yang murah, cepat dan sederhana serta memenuhi rasa keadilan perempuan dan anak-anak.
Berdasarkan informasi yang diperoleh hukumonline, Mahkamah Agung sudah pernah mengirimkan tim studi banding ke Australia untuk mempelajari family court dan kemungkinan pembentukannya di Indonesia. Bahkan sudah ada nota kesepahaman antara Indonesia dan Australia mengenai masalah ini. Namun hingga kini pembentukan family court masih belum terealisasi. Perkara perdata dan pidana yang menyangkut keluarga tetap diproses terpisah.