Sengketa Perumahan Marak, UU Perlindungan Konsumen Segera Direvisi
Utama

Sengketa Perumahan Marak, UU Perlindungan Konsumen Segera Direvisi

Belum ada sistem yang jelas untuk membuat efek jera bagi pengembang nakal.

KARTINI LARAS MAKMUR
Bacaan 2 Menit
Foto: www.jpmi.or.id
Foto: www.jpmi.or.id
Suburnya industri properti rupanya diiringi menjamurnya sengketa di sektor perumahan. Tercatat, pengaduan masyarakat kepada Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) mencapai puluhan. Sekurang-kurangnya, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) harus menangani dua puluh kasus dalam setahun.

Jumlah yang masih dalam kisaran puluhan, bukan berarti ketidakpuasan konsumen terhitung sedikit. Direktur Jenderal Standarisasi dan Perlindungan Konsumen (SPK) Kementerian Perdagangan, Widodo, menjelaskan bahwa selama ini banyak saluran yang digunakan masyarakat dalam mengadukan sengketa perumahan.

Ia menyampaikan, ketika konsumen merasa hak-haknya terlanggar, ada yang memilih menempuh jalur non hukum tetapi ada pula yang menempuh jalur hukum.

“Meski jumlahnya puluhan, tapi ini serius karena pengaduan disampaikan kepada banyak pihak. Bahkan ada yang mengadu ke Mabes Polri dan DPR. Beberapa sudah bisa diselesaikan tapi ada juga yang belum dan sudah masuk ke ranah hukum," tuturnya di Jakarta, Rabu (2/4).

Widodo merinci, kebanyakan konsumen merasa haknya terlanggar dalam urusan perbankan maupun pembiayaan non-bank. Selain itu, pengaduan konsumen yang cukup sering terkait rumah susun sederhana milik (rusunami) dan rumah susun sederhana sewa (rusunawa). Kebanyakan pengaduan yang menyangkut rusunami dan rusunawa, menurut Widodo, disampaikan kepada BPSK dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM).

Widodo mengatakan, banyaknya sengketa perumahan yang terjadi karena masih sering terjadi pelanggaran terhadap hak-hak konsumen. Ia mencatat, pelanggaran hak konsumen dalam sektor perumahan kerap terjadi dalam proses jual beli. Ketika penandatanganan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) seringkali tak sesuai dengan waktu yang disepakati.

“Isi PPJB sering memberatkan konsumen dan ini merupakan bentuk wanprestasi,” jelas Widodo.

Pelanggaran hak konsumen juga kerap terjadi saat konsumen melakukan angsuran pembayaran. Menurutnya, permasalahan tunggakan angsuran sering menyebabkan pembatalan jual beli sepihak dari pelaku usaha. Pengembang perumahan juga sering menambahkan biaya lain yang tidak masuk dalam surat pesanan.

Saat sudah menjadi pemilik atau penghuni masalah muncul dalam pembentukan pengurus Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS) oleh pengembang. Masalah lain muncul terkait kenaikan tarif listrik dan air tanpa pemberitahuan dan persetujuan terlebih dahulu,” tambahnya.

Widodo mengatakan, untuk mengatasi sengketa perumahan yang makin rumit pihaknya berencana menyempurnakan dan merevisi UU Pelindungan Konsumen. Sebab, ia menilai masalah ini cukup pelik dan tak bisa diselesaikan hanya dengan mengacu pada UUNo. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Menurutnya, ada beberapa hal yang tidak diatur dalam UU Perlindungan Konsumen sehingga harus menggunakan UU yang lain,seperti UU Rumah Susun dan UU Ketenagalistrikan. "Sudah ada masukan dari banyak pihak dan DPR pun ingin menginisiasi revisi UU ini," katanya.

Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW), Ali Tranghanda, berpendapat sebenarnya undang-undang yang berlaku saat ini sudah memuat sanksi bagi pengembang nakal. Hanya saja, sampai saat ini belum ada Peraturan Pemerintah untuk undang-undang tersebut sehingga belum dapat diterapkan.

Ia juga menyayangkan Kementerian Perumahan Rakyat yang mewakili pemerintah untuk dapat melindungi konsumen ternyata tidak dapat menindak terlalu jauh.

“Sebenarnya dalam UU yang ada, pengembang nakal dapat terkena sanksi berupa denda sampai kurungan. Belum ada juga sistem yang jelas yang dapat membuat efek jera bagi para pengembang nakal,” ujar Ali.
Tags:

Berita Terkait