Seniman Perlu Pahami Hukum Kontrak
Berita

Seniman Perlu Pahami Hukum Kontrak

Antisipasi jika kalangan seniman menghadapi persoalan hukum perdata dengan pihak ketiga.

IHW/Mys
Bacaan 2 Menit
Seniman Perlu Pahami Hukum Kontrak
Hukumonline

 

Bagi Adi, masalah perlindungan dan jaminan atas suatu karya seni, sangat penting untuk diatur dalam Undang-Undang. Namun tidak demikian untuk masalah bagaimana aktifitas seni itu dilakukan. Undang-Undang tak boleh mengatur mengenai proses untuk membuat karya seni dan bagaimana cara menampilkan  hasil karya seni. Yang boleh diatur hanya perlindungan dan jaminan hak seorang seniman atas karya seninya, kata Adi.

 

Pengalaman Inda atau uneg-uneg yang disampaikan Adi boleh jadi menimpa seniman lain. Masalah pembajakan, penggunaan karya seni tanpa izin sampai ketidakjelasan pembagian royalti memang kerap terjadi di negeri ini. Berdasarkan catatan hukumonline, salah satu contoh kasus pelanggaran hak kekayaan intelektual atas karya seni (sastra) adalah kasus ‘Mahkamah'. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat bahkan sudah menjatuhkan vonis. Contoh lain, adalah pidana pemalsuan lukisan karya pelukis I Nyoman Gunarsa yang disidangkan di PN Denpasar. Gunarsa sempat mengadukan majelis hakim yang menangani perkara ini ke Komisi Yudisial di Jakarta.

 

Praktisi hukum yang menjadi pembicara dalam diskusi itu, M. Husseyn Umar mungkin mengetahui fakta yang sering terjadi. Oleh karenanya ia berharap agar para seniman mau mencermati kontraknya terlebih dulu ketika berhubungan dengan pihak lain. Di dalam kontrak, minimal harus ditegaskan mengenai hak kekayaan intelektual seorang seniman atas karya seninya. Ini berdampak pada bagaimana penghitungan dan pembagian royalti. Selain itu, kontrak juga menyebutkan mengenai pilihan hukum  dan forum hukum yang akan ditempuh jika terjadi perselisihan.

 

Bagi advokat yang juga penulis cerpen Selendang Merah (2000) itu, seniman perlu memahami hukum. Seniman tak melulu berhadapan dengan bagaimana memamerkan hasil karyanya, tetapi juga menghadapi kemungkinan karyanya dibajak orang lain, atau pameran karyanya bermasalah dengan pihak ketiga.

 

Dari beberapa jenis hak kekayaan intelektual, hanya hak cipta yang secara tegas melindungi hasil setiap karya seni seperti, sastra, lagu atau musik, drama, tari, koreografi, pantomim, seni lukis, patung, gambar, seni ukir, fotografi, terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai dan karya lain dari pengalihwujudan. Jangka waktu perlindungan hak cipta adalah seumur hidup sang pencipta sampai 50 tahun setelah meninggalnya pencipta. Hal ini diatur dalam UU No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

 

Peristiwa 2005 silam itu masih membekas di benak Inda C. Noerhadi. Pemilik Cemara 6 Galeri ini mengenang kala itu sejumlah seniman mengikuti CP Biannale di Jakarta. Pameran seni lukis itu terpaksa ditutup sebelum waktunya lantaran ada protes massa. Massa mempersoalkan sejumlah lukisan yang dipamerkan, termasuk gambar artis Anjasmara hasil jepretan Davy Linggar dan pelukis Agus Suwage.

 

Lain waktu, para seniman diminta membuat visual art untuk memeriahkan sebuah acara di Institut Kesenian Jakarta. Para seniman berusaha mengerahkan tenaga dan daya cipta. Hasil kerja para seniman dihargai melalui sertifikat. Eh, belakangan visual art itu dibongkar tanpa argumentasi yang jelas. Sangat ironis untuk perguruan tinggi kesenian selevel Institut Kesenian Jakarta, ungkap peraih gelar doktor dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia itu.

 

Dalam setiap peristiwa itu, seniman bingung mau mengadu kemana dan bagaimana mempersoalkan penutupan pameran lukisan secara tiba-tiba oleh pelaksana atau pemilik gedung tempat pameran berlangsung. Inda mengaku bingung harus bagaimana kasus-kasus semacam itu. Bagaimana pula perlindungan hukum terhadap karya-karya seni tersebut?

 

Inda mengungkapkan uneg-uneg tersebut dalam diskusi Kajian Kerangka Hukum untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan, yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) di Jakarta, Kamis (30/4).

 

Dalam diskusi itu, bukan hanya Inda C Noerhadi yang menyampaikan kegalauan terhadap perlindungan karya seni di Indonesia. Ada Adi Kurdi. Bagi penikmat layar kaca, nama Adi Kurdi mungkin kurang terkenal. Tapi jika disebut tokoh ‘Abah' dalam sinetron ‘Keluarga Cemara' yang diputar pada akhir 1990-an, bakal lain ceritanya. Ya. Adi Kurdi adalah pemeran tokoh ‘Abah' dalam sinetron itu.

Tags: