Serba Serbi Kasus Adat di Pengadilan Negeri Tobelo
Laporan dari Tobelo:

Serba Serbi Kasus Adat di Pengadilan Negeri Tobelo

Unsur hukum adat lebih kental dalam kasus perdata. Hukum pidana harus pakai hukum nasional.

Oleh:
Ali Salmande
Bacaan 2 Menit
PN Tobelo tangani kasus-kasus adat (Sumber: ist)
PN Tobelo tangani kasus-kasus adat (Sumber: ist)

Tobelo, Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara terpilih sebagai tuan rumah Kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) IV. Selama tujuh hari, para pemuka adat se-Nusantara berkumpul untuk membahas persoalan-persoalan yang dialami masyarakat adat.

Lalu, bagaimana sikap masyarakat Tobelo sendiri terhadap hukum adat mereka? Apakah hukum adat masyarakat Tobelo cukup exist diakui oleh hukum nasional? Di sela-sela Kongres, hukumonline berkesempatan mengunjungi Pengadilan Negeri (PN) Tobelo.

Ketua Pengadilan Negeri Tobelo Ikhwan Hendarto menjelaskan tak banyak kasus bernuansa hukum adat yang mampir ke pengadilan. Namun, saat ini, ia mengaku menangani dua kasus yang berkaitan erat dengan hukum adat istiadat masyarakat Tobelo.

"Nuansa adat terdapat dalam kasus-kasus perdata yang saya tangani sendiri saat ini. Perkaranya masih berproses," ujar Ikhwan di ruang kerjanya, di Gedung PN Tobelo, Maluku Utara, Rabu (18/4).

Kasus pertama adalah kasus perceraian yang memasukkan unsur hukum adat. Seorang suami menceraikan istrinya karena mendapati si istri tinggal serumah dengan lelaki lain. Si istri telah dikembalikan ke keluarganya, dan diminta untuk membayar denda. "Dia diminta untuk bayar denda. Itu menarik masalah hukum adatnya," ujarnya.

Kasus kedua juga masalah perdata dimana perempuan yang dihamili oleh seorang laki-laki meminta ganti rugi adat melalui gugatan perdata. "Perempuan itu minta ganti rugi. Ada beberapa yang dia minta, di antaranya pembayaran uang mahkota beberapa juta rupiah," jelasnya. "Bentuk gugatannya perbuatan melawan hukum. Dia minta biaya hidup anaknya, denda adat dan sebagainya," jelasnya lagi.

Ikhwan tak mau buru-buru menyimpulkan karena perkara ini masih berjalan. Meski begitu, ia berjanji akan memanggil ahli hukum adat di desa tersebut karena kasus seperti ini masih jarang sekali mampir ke pengadilan. "Kami kan wajib menggali nilai-nilai yang ada di masyarakat. Kami akan sesuaikan hukum adatnya itu bagaimana," tuturnya.

Ia menegaskan bila keterangan ahli adat itu diterima maka akan dijadikan bukti sebagai pertimbangan majelis hakim. "Hukum adat ini kan hukum yang asli. Jadi meski ada hukum nasional, kita harus tetap menghidupkan hukum adat," tuturnya. 

Humas PN Tobelo Josca Jane Ririhena juga mengaku sedang menangani kasus yang berkaitan dengan hukum adat. Si penggugat menggunakan istilah hukum adat dalam gugatannya.

"Permintaannya seperti biomamade, mapele malu (membayar denda rasa malu korban), jejaro maija (mahkota diri), hasimabu mangu (ingkar janji) berdasarkan hukum adat Galela. Kami akan undang tokoh-tokoh adat untuk mendalami ini," ujarnya.

Kasus Pidana
Meski mulai muncul kasus perdata yang bernuansa adat, beda halnya dengan kasus pidana. Menurut Josca, untuk kasus pidana yang digunakan adalah hukum nasional. "Kami menggunakan hukum nasional untuk kasus pidana," ujarnya.

Sebagai informasi, saat ini tim perancang revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berupaya mengakomodir hukum adat ke dalam KUHP. Dalam draf revisi KUHP, asas legalitas disandingkan dengan hukum adat.

Ikhwan mengaku mengetahui rencana ini. Namun, ia mengaku belum pernah menemukan kasus pidana yang disandingkan dengan sanksi adat. Kalaupun ada, penyelesaiannya dilakukan secara kekeluargaan di lingkungan pelaku dan korban. "Tapi bukan berarti 'perdamaian' itu menyelesaikan sanksi pidananya. Itu kan hanya untuk meringankan hukuman," ujarnya.

Ia mengatakan biasanya kasus pidana yang mencapai perdamaian adalah kasus penganiayaan. "Umumnya mereka sudah anggap sebagai keluarga. Keluarga korban menilai terdakwa sebagai bagian dari keluarganya. Itu dijadikan sebagai unsur meringankan," ujarnya.

Tags: