Sidang Advokat di PN Jaksel, JPU: Putusan Etik Beda dengan Peradilan Pidana
Utama

Sidang Advokat di PN Jaksel, JPU: Putusan Etik Beda dengan Peradilan Pidana

Tidak ada profesi atau jabatan yang menjadikan seseorang kebal hukum.

HAG
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP
Persidangan dua advokat Timotius Simbolon dan Jemmy Mokolensang, yang menjadi terdakwa terus berlanjut. Kali ini bagian pembacaan replik (tanggapan atas pledoi) yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dalam repliknya JPU menyatakan bahwa antara sidang kode etik profesi dan sidang peradilan pidana adalah hal yang berbeda sehingga putusan sidang etik profesi tidak dapat memengaruhi peradilan pidana.

"Persidangan etik profesi berbeda dengan pengadilan yang diakui oleh seluruh warga negara Indonesia. Putusan kode etik oleh lembaga profesi advokat dalam hal ini AAI (Asosiasi Advokat Indonesia) tidaklah dapat menyampingkan atau menghapuskan atas perbuatan terdakwa yang melakukan tindak pidana," ujar JPU di Ruang Sidang Utama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (15/2).

Selain itu, JPU menyatakan bahwa dengan menjadi advokat tidak menjadikan seseorang atau warga negara menjadi kebal terhadap hukum. Menurutnya, tidak ada satupun profesi yang menjadikan seseorang menjadi istimewa di depan hukum.

"Tidak menjadi khusus hanya karena berprofesi sebagai advokat, yaitu tidak menjadi keistimewaan. Tidak ada profesi atau jabatan yang menjadikan seseorang bebas dari hukum. Tidak hanya karena seseorang menjadi advokat maka menjadikannya kebal terhadap hukum. Karenanya, putusan dewan etika profesi advokat hanya berlaku untuk kalangan advokat saja, namun tidak berlaku untuk kalangan umum," jelasnya.

JPU juga menyayangkan penasehat hukum dari dua advokat tersebut menggunakan asumsi dan pendapat hukum, bukan fakta hukum dalam membela kliennya. "Fakta-fakta persidangan adalah yang menjadi fakta hukum, namun sangat disayangkan penasehat para terdakwa yang menggunakan surat AAI, bukan berbicara mengenai fakta tetapi asumsi dan pendapat baik dari kuasa hukum maupun terdakwa," lengkapnya.

Kemudian, menurut JPU, pernyataan sudah dilegalisirnya sertifikat oleh notaris yang dinyatakan oleh penasehat hukum dan terdakwa tidak sesuai dengan apa yang dikatakan oleh saksi dalam pembuktian persidangan. Dalam keterangannya, saksi selaku notaris menyatakan bahwa legalisir tersebut adalah legalisir untuk menyatakan bahwa fotocopi tersebut benar dan sesuai dengan aslinya, bukan untuk menyatakan bahwa sertifikat tersebut benar atau palsu.

"Saksi Notaris memang pernah melakukan legalisir atas sertifikat hak milik tetapi hanya untuk membenarkan fotocopi benar sesuai aslinya, bukan benar atau palsu. Untuk menentukan benar atau tidaknya bukan kewenangan saksi sebagai notaris," jelasnya.

Dalam Repliknya, JPU juga tidak memiliki alasan pemaaf dan pembenar atas tindakan yang dilakukan dua advokat tersebut. "Timotius dan Jemmy membenarkan identitasnya dan cakap dan mampu bertanggung jawab sehingga tidak ada alasan unsur pemaaf dan pembenar," tambah JPU.

Sebelumnya, Timotius dan Jemmy dinyatakan tidak melanggar kode etik oleh Asosiasi Advokat Indonesia. Dalam pertimbangannya, majelis mempertimbangkan bahwa hal-hal yang dilakukan oleh Timotius dan Jemmy merupakan tindakan dalam melakukan tugas profesi. Selain dinyatakan melakukab tugas profesi dua advokat tersebut juga mendapatkan Surat Rekomendasi untuk dibebaskan dari Komnas HAM.

"Kami (Timotius dan Jemmy) sudah mendapatkan Surat Rekomendasi untuk dibebaskan dari sini oleh Komnas HAM. Kami benar-benar melakukan tugas profesi sebagai advokat," jelas Timotius.

Mereka didakwa dengan Pasal 263 ayat (2) KUHP mengatur tentang delik pemalsuan surat dengan ancaman pidana penjara paling lama enam tahun. Juga Pasal 167 ayat (1) KUHP mengatur tentang delik menerobos rumah, ruangan atau pekarangan secara melawan hukum dengan ancaman pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak Rp4.500.

Timotius dan Jemmy mendapatkan kuasa dari Jakub Sugiarto Sutrisno untuk mengurus lahan yang terletak di Jl. Karet III Gang Gusuran RT 10/01, Kelurahan Karet, Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selaran seluas 7800 meter persegi. Lahan tersebut berdasarkan surat Akte Eigendom Vervonding Nomor: 6393 No.5 tertanggal 9 Djoeni 1937 atas Nama W.L. Lim Kit Nio (yang diakui sebagai ibu kandungnya Jakub).

Tags:

Berita Terkait