Soal Mafia Peradilan, Ruhut: Jangan Salahkan Lembaganya, tapi Oknumnya!
Berita

Soal Mafia Peradilan, Ruhut: Jangan Salahkan Lembaganya, tapi Oknumnya!

Ironis, yang terlibat dalam pusaran mafia peradilan justru mereka yang mengerti persoalan hukum.

ANT
Bacaan 2 Menit
Ruhut Sitompul. Foto: SGP
Ruhut Sitompul. Foto: SGP
Banyaknya operasi tangkap tangan (OTT) terhadap aparat pengadilan bukan semata-mata lemahnya pengawasan Mahkamah Agung (MA). Pengacara Ruhut Sitompul menilai banyaknya OTT terhadap aparat pengadilan bukan karena lemahnya pengawasan MA, tetapi disebabkan ulah para mafia kasus.

"Kalau melihat salahnya, oknum-oknum itu yang salah. MA dan pengadilan tingginya tidak salah, tetapi oknumnya," kata Ruhut di Jakarta, Minggu (3/7).

Politisi yang telah menggeluti bidang hukum selama 35 tahun itu mengaku kerap menghadapi ulah para mafia kasus dan bagaimana mereka berusaha mengatur aparat pengadilan. "Kenapa aparat mau diatur para mafia kasus? Itu yang saya sedih," kata Ruhut.

Untuk mencegah supaya aparat pengadilan tidak lagi melanggar hukum, Ruhut mengusulkan pemberian sanksi seberat-beratnya kepada mereka yang terbukti melakukan pelanggaran. Apalagi, yang terlibat dalam pusaran mafia peradilan itu adalah mereka yang mengerti persoalan hukum. "Karena mereka orang yang mengerti hukum, tetapi malah justru melanggar hukum," ucap anggota Komisi III DPR itu.

Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan sistem kepaniteraan pengadilan harus dibenahi mengingat muara dari kasus suap di lembaga peradilan ada di panitera. "Selama ini kan panitera kurang diperhatikan, bisa juga perkara titik simpulnya ada di panitera. Seluruh sistem peradilan kita juga tentu perlu dievaluasi," kata Kalla di Kantor Wakil Presiden Jakarta, Jumat (1/7).

Dia mengatakan selama ini para panitera di pengadilan tersebut luput dari perhatian bahwa di tempat itu merupakan celah masuknya praktik suap-menyuap untuk mengubah putusan vonis terdakwa.

Dari sejumlah kasus suap perkara yang muncul beberapa waktu terakhir, Wapres Kalla menilai suap tersebut disebabkan oleh lemahnya pengawasan terhadap kerja para panitera.

‘Kelihatannya kasus di (Pengadilan Negeri, red.) Jakarta Utara, Jakarta Pusat, kasus di Bandung, itu semua titik simpulnya sepertinya di panitera. (Karena, red.) Pengaturan-pengaturannya sepertinya lebih bebas ke mana-mana, sehingga memang diperlukan suatu perbaikan sistem secara keseluruhan," katanya.

Namun, lanjut Kalla, kasus suap di lingkungan pengadilan bisa terjadi kapan saja dan di bawah pimpinan Ketua Mahkamah Agung siapa saja. Artinya, dengan ditemukannya kasus suap di pengadilan bukan berarti Ketua MA yang sedang menjabat tidak mampu bekerja. "Ini bisa terjadi masa ketua MA siapa saja, sehingga semuanya harus dievaluasi, sistem internal peradilan kita secara nasional, baik di kejaksaan, pengadilan, kepolisian itu semua perlu dilakukan," katanya.

Seperti diketahui, pada 30 Juni lalu, KPK melakukan OTT panitera pada PN Jakarta Pusat, Santoso. dengan tertangkapnya Santoso, berarti sudah empat orang panitera yang ditangkap KPK sepanjang Januari hingga Juni 2016.

Untuk PN Jakarta Pusat sendiri, sepanjang 2016, sudah dua panitera yang ditangkap KPK. Pada 20 April 2016 lalu, KPK menangkap panitera PN Jakarta Pusat Edy Nasution. Selain Edy dan Santoso, dua panitera lain yang juga telah ditangkap KPK sebelumnya adalah panitera PN Jakarta Utara Rohadi dan panitera PN Bengkulu Badaruddin Amsori Bachsin alias Billy. Edy ditangkap KPK usai menerima uang sejumlah Rp150 juta dari pegawai PT Artha Pratama Anugrah (anak usaha Lippo Group), Doddy Aryanto Supeno.

Perkara Doddy telah disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Dari surat dakwaan, terungkap bahwa Doddy dan Edy melakukan pengurusan untuk dua perkara Lippo Group, yaitu PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) melawan PT Kwang Yang Motor Co Ltd (PT Kymco) dan AcrossAsia Limited (AAL) melawan PT First Media Tbk.

Sementara, Rohadi ditangkap KPK pada 15 Juni 2016. Rohadi ditangkap setelah menerima uang sejumlah Rp250 juta dari kakak pedangdut Saipul Jamil, Samsul Hidayatullah dan dua orang pengacara Saipul Jamil bernama Berthanatalia Kariman dan Kasman Sangaji. Uang itu diduga untuk meringankan hukuman Saipul yang didakwa dalam kasus pencabulan.

Seorang panitera lagi yang terjaring dalam OTT adalah Badaruddin, panitera PN Bengkulu. Badaruddin ditangkap KPK bersama dua hakim Pengadilan Tipikor Bengkulu, Janner Purba dan Toton pada 23 Mei 2016. Selain itu, KPK juga menangkap dua terdakwa kasus korupsi yang ditangani Janner dan Toton, Syafri Syafi'i dan Edi Santoni.

Janner, Toton, dan Badaruddin diduga menerima suap terkait pengurusan kasus korupsi honor tim pembina RSUD M Yunus yang menjerat Syafri dan Edi di Pengadilan Tipikor Bengkulu. Dari penangkapan tersebut, KPK menyita uang sejumlah Rp650 juta. Uang diberikan dalam dua tahap, sebanyak Rp150 juta dari Syafri dan Rp500 juta dari Edi.

Tags:

Berita Terkait