Tak Umumkan Penelitian Vaksin Palsu, Advokat Gugat BPOM
Utama

Tak Umumkan Penelitian Vaksin Palsu, Advokat Gugat BPOM

Lantaran rasa khawatir terhadap nasib dua balitanya.

KARTINI LARAS MAKMUR
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP
Beberapa waktu lalu, kabar mengenai beredarnya vaksin palsu menggemparkan masyarakat. Usai kegemparan di surat kabar dan laman media sosial, kecemasan para orang tua tak juga berkesudahan. Hal ini seperti dialami Zentoni. Pertanyaan mengenai nasib anaknya telah diberi vaksin palsu atau asli tak kunjung terjawab lantaran Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tak bersedia mengumumkan hasil penelitiannya.

Demi menjawab rasa was-wasnya, Zentoni mengajukan gugatan terhadap BPOM dan Menteri Kesehatan. Hari ini, Rabu (13/7) gugatan Zentoni telah diterima oleh Panitera Muda Perdata Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor perkara 376/PDT/2016/PN.JKT.PST.

Di dalam gugatannya, Zentoni yang juga berprofesi sebagai advokat menyampaikan bahwa kedua anaknya yang masih balita telah diberi vaksin untuk pencegahan penyakit, kecacatan, dan kematian. Sehingga, ia sangat cemas dengan adanya kabar mengenai peredaran vaksin palsu di 37 fasilitas pelayanan kesehatan. Lantaran tak ada pengumuman resmi di mana saja fasilitas pelayanan kesehatan yang disusupi vaksin palsu, Zentoni pun berusaha mencari tahu sendiri.

“Habis waktu saya untuk mencari 37 fasilitas pelayanan kesehatan itu, sampai mengganggu waktu kerja saya,” tutur Zentoni di dalam gugatannya yang diterima hukumonline.

Sebagaimana diketahui, pada 28 Juni 2016 BPOM mengumumkan bahwa pihaknya mengetahui adanya peredaran vaksin yang tidak sesuai persyaratan secara sporadis telah ditemukan sejak tahun 2008 hingga tahun 2016. Kemudian, sebagai Anggota Satuan Tugas Penanggulangan Vaksin Palsu yang dibentuk oleh Menteri Kesehatan, BPOM melakukan penelusuran di seluruh wilayah dan terdapat 37 fasilitas pelayanan kesehatan yang berada di 9 Provinsi. Hasilnya, ditemukan 39 jenis sampel vaksin dari sumber yang tidak resmi.

Dari jumlah yang ditemukan tersebut, kemudian dilakukan pengujian. Ternyata, 4 sampel isinya tidak sesuai atau palsu. Selain itu, ada pula1 sampel diduga palsu karena label tidak sesuai. Namun, 37 fasilitas pelayanan kesehatan yang menjadi hasil temuan BPOM tak diumumkan.

“Karena pemberitaan yang semakin gencar, baik di media cetak maupun elektronik, maka saya sebagai konsumen merasa sangat resah dan khawatir terhadap kesehatan kedua anak saya dan juga telah menyebabkan keresahan di kalangan masyarakat luas juga,” tandas Zentoni.

Padahal, sebagai warga negara Indonesia dirinya memiliki hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf (a) dan mengenai informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa sesuai dengan Pasal 4 (c) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Zentoni menilai, langkah BPOM dan Menkes untuk tidak mempublikasikan 37 fasilitas layanan kesehatan itu sebagai bentuk perbuatan melawan hukum. Pasalnya, kedua lembaga itu telah merugikan orang lain. Sehingga, sesuai dengan Pasal 1365 KUH Perdata, Zentoni berkeyakinan BPOM dan Menkes harus mengganti kerugian masyarakat.

Dirinya pun melihat selaku institusi pemerintah bidang pengawasan obat dan makanan BPOM telah melanggar asas Kepatutan, Ketelitian serta sikap hati-hati dalam penelitiannya. Padahal, menurutnya jika hasil penelitian BPOM telah tepat dan dapat diuji secara klinis dan ilmiah, maka BPOM berkewajiban secara hukum dan moral untuk mengumumkan hasil penelitian tersebut kepada masyarakat umum agar tidak terjadi asumsi publik yang membingungkan dan bahkan meresahkan masyarakat.

“Menkes sebagai pihak yang berkewajiban untuk mengawasi standar makanan dan minuman yang beredar di Indonesia, bisa mengumumkan nama 37 fasilitas pelayanan kesehatan yang mendapatkan vaksin dari sumber yang tidak resmi tersebut,” tuturnya.

Zentoni pun menggugat BPOM dan Menkes agar bersama-sama mempublikasikan hasil penelitian terkait vaksin palsu itu. Ia menuntut agar publikasi tersebut minimal tersebar luas di enam media cetak nasional dan lima stasiun TV nasional. Tak hanya itu, dirinya menuntut agar Menkes segera mencabut izin-izin 37 fasilitas pelayanan kesehatan yang mendapatkan vaksin dari sumber yang tidak resmi tersebut.

Ia juga meminta untuk menyatakan putusan perkara ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun ada upaya hukum verzet, banding, kasasi; perlawanan dan/atau peninjauan kembali. “Atau, apabila majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait