Tiga Aktor Utama dalam Pemberantasan Korupsi
Berita

Tiga Aktor Utama dalam Pemberantasan Korupsi

Tidak ada pil ajaib yang bisa langsung mengubah dari korupsi menjadi tidak korupsi.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

 

(Baca juga: Cegah Korupsi, Tata Kelola Pemerintahan Butuh Kreativitas)

 

KPK Indonesia menghadapi tantangan yang sama, bahkan nyaris lebih berat. Kriminalisasi komisioner KPK dalam dua periode menguatkan asumsi itu. Periode Chandra Hamzah dan Bibit Samat Rianto; lalu disusul era Bambang Widjajanto dan Abraham Samad. Penetapan tersangka para komisioner KPK itu mendapat perlawanan antara lain dari kelompok-kelompok masyarakat sipil. Peran masyarakat sipil inilah yang menurut Erry terlewat dari buku karya Vishnu Juwono.

 

Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Arif Zulkifli, di acara yang sama, memberikan testimoni bagaimana kelompok masyarakat sipil khususnya pers, ikut berperan dalam mengungkap kasus-kasus korupsi di Indonesia. Beberapa penindakan oleh aparat penegak hukum justru bersumber dari informasi yang terpublikasi lewat media massa.

 

Penulis buku ‘Melawan Korupsi, Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia 1945-2014, Vishnu Juwono menjelaskan lembaga-lembaga pemberantasan korupsi yang dibentuk sejak Indonesia merdeka hingga pendirian KPK menghadapi persoalan masing-masing. Komitmen pemerintah menjadi kunci. Jika pemimpin negara tidak berkomitmen dan tidak menghendaki, maka badan yang dibentuk langsung dibubarkan. Inisiatif antikorupsi yang digagas Sultan Hamengkubuwono IX dan Jenderal AH Nasution pada 1960-an, misalnya, dibubarkan oleh Soekarno.

 

Momentum paling penting adalah ketika KPK terbentuk dan komisioner baru terpilih. Ada kekhawatiran Komisi ini akan bernasib sama seperti lembaga sejenis yang pernah menghiasi sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia. Faktanya, hingga kini KPK masih eksis meskipun terus mendapat ‘serangan’ baik dari luar maupun dari dalam.

Tags:

Berita Terkait